Anis, Melestarikan Batik Tulis Tegal

Ensiklopedi1320 Dilihat

MEDIASI – Kawan saya ini, Nur Anisa Amini, adalah sosok jenius dan hidupnya merdeka. Saya ingat betul, dulu semasa sekolah (saya dua periode sekelas sama dia, kelas 10 dan 12), gayanya berbicara sering tanpa beban menyinggung teman. Jika ada kawan yang tersinggung, ia tak segan langsung meminta maaf. Anis, panggilan akrabnya, juga sosok yang enerjik dan ceria.

Bakatnya menggambar mengantarkannya mewujudkan mimpi-mimpinya. Ia salurkan kekuatan imajinasinya untuk menekuni dunia batik khas Tegal sejak 2009. Bisnis batiknya, yang ia rintis dengan tertatih-tatih, kini merambah pasar yang cukup luas. Batik tulis khas Tegal yang ia geluti, benar-benar mencerminkan kebebasannya. Ia tak terlalu pusing oleh pasar yang terlalu rewel dengan model ini itu. Ia hanya terpikir bagaimana mengalirkan energi kreatif di atas imajinasinya. Ia enggan diburu waktu untuk menyelesaikan sebuah karya batik.

Salah satu karya misalnya, ia sedang iseng jalan-jalan, lalu kesengsem dengan buah mengkudu (pace : bahasa Tegal). Malamnya ia menggebu-gebu ingin menuangkannya di kanvas batiknya. Jadilah konsep batik bergambar buah mengkudu. Unik bukan?

Karyanya kini ia pajang dengan mengusung branding Petik Galeri. Saat ini, Galeri Petik yang ia dirikan sudah menempati gedung milik sendiri dan cukup megah. Saya, walaupun tak mahir memoto, rasanya tak bisa menahan untuk jeprat-jepret memoto berbagai sudut di Galeri Petiknya, saking kagum pada ide-ide uniknya.

Pekerjaan yang dilakukan karena hobi, terlebih dorongan bakat alami, merupakan anugrah kawan saya itu, Nur Anisa Amini.

Nur Anisa Amini termasuk orang yang tak suka hal ribet. Ia mengalir, tapi fokus dan konsisten. Dengan segala capaiannya sekarang, Anis tak mau mandeg berinovasi. Ia terus menggali ide. Melihat itu, saya teringat tulisan Cak Nun yang sudah lama sekali, “setiap orang punya hutang budaya, yaitu karya bermanfaat hasil refleksi diri dan kehidupan”. Orang seperti Anis telah melunasi hutang budaya itu.

Merenung dan berpikir mendalam memang perlu, tapi tak mesti ekstrim. Cukup membiasakan diri memaknai bergulirnya waktu yang tak mau direm. Demikian pelajaran yang saya petik dari perbincangan hangat sore itu. Seperti bisnisnya yang tumbuh, tak berhenti pada batik tulis khas Tegal. Sejak 2017, Anis memulai usaha yang tak kalah keren, furnitur.

Dan seperti katanya tadi, ia mengawali bisnis furnitur dengan cara berpikir yang ringan saja. Tak seserius orang mau berbisnis besar yang super ribet. Saat Anis memajang batiknya di etalase gantungan yang terbuat dari kayu, tercetus ide untuk membuat furnitur yang lebih elegan, tak seperti tempat gantungan batiknya yang tampak biasa saja, kurang cita rasa seni.

Benar saja, saya salut dengan hasil jerih payahnya. Konsep kursi, meja, lemari yang klasik dan elegan membuat daya tarik tersendiri. Kesukaannya pada sejarah menambah penelusuran idenya pada karya-karya furnitur klasik. Selain itu, dan ini yang unik, inspirasi karyanya tak jarang dari binatang peliharaannya, sang kelinci yang ia namai Boim dan Boimin.

Ia juga menggunakan bahan dasar, kayu yang tidak sembarangan, yaitu kayu jati yang ia beli secara legal dari perum perhutani.

Seperti yang saya duga, Nur Anisa Amini, tidak merasakan bahagia waktu sekolah dulu. Murid seperti Anis dipinggirkan oleh sekolah yang memuja prestasi-prestasi para juara. Sosok-sosok yang tak menonjol (biasa saja) tak pernah mengecap panggung apresiasi. Anis justru pernah mendapatkan kata-kata cemooh terkait hobinya menggambar.

Baginya, sekolah hanyalah keniscayaan proses perjalanan hidup yang harus dilewati sebab orangtua dan umumnya masyarakat yang bergantung pada selembar ijazah demi penghidupan di masa depan. Bahkan, Anis, perlu memajang buku-buku latihan soal masuk CPNS di kamarnya hanya demi memuaskan keinginan orangtua yang menghendaki dirinya jadi ASN.

Katanya, sekolah (apalagi sekarang) mengajarkan sesuatu yang hari-hari ini tidak diperlukan. Materi pelajaran yang diberikan seperti menuangkan pengetahuan pada gelas kosong sudah tak relevan. Murid adalah biji yang bisa tumbuh secara mandiri. Sekolah dan guru hanya wajib membuat lingkungan yang subur agar potensi yang tersimpan dalam diri anak mekar dan berbuah.

Anis beruntung, ia mengenali dirinya (bakatnya) sejak awal dan tak mau ambil pusing betapa pun sekolah tak pernah mengapresiasinya. Dan ini yang penting, sekolah bukankah memang tempat aktualisasi diri berbagai bakat anak? Sayang, lulusan-lulusan sekolah malah memunculkan kebingungan. Jika ditanya, “lulus dari sekolah, kalian bisa apa?”. Jawabnya cukup diam, yang berarti mereka bingung.

Sahabat, yang ingin belajar dengan Anis, atau meminati produk galeri Petiknya yang ia gawangi, silakan datang langsung ke Tegalandong, Slawi, Kab. Tegal.

Oleh : Dhofier