Demokrasi dan Watak Demokrat

Publika1059 Dilihat

MEDIASI – Terdapat pertanyaan serius, mengapa pilihan untuk berdemokrasi kerap tidak berjalan linear dengan kesejahteraan rakyat.? Bahkan, sebagaimana ditunjukkan oleh Jeffrey Winters, jalan demokrasi kerap takluk menghadapi ganasnya gurita oligarki. Demokrasi hanya menjadi ritual pemilu, perdebatan di parlemen, dan hiruk-pikuk jargon pejabat negara tanpa hadirnya keadilan sosial.

Artinya, demokrasi bukan dijadikan sebagai alat tetapi dijadikan sebagai tujuan. Demokrasi adalah akhir segalanya. Akibatnya, aktor-aktor demokrasi bergerak merayakan demokrasi tanpa tahu mengapa mereka harus berdemokrasi, tanpa tahu apa tujuan dari demokrasi.

Pemilu atau pilkada, misalnya, yang menjadi salah satu piranti demokrasi kerap hanya menjadi ajang kampanye dan sahut-sahutan puisi. Tetapi, setelah pemilu selesai, kampanye tuntas ; janji politik menguap laksana embun pagi tak kuasa menghadapi siang.

Demokrasi takluk menghadapi politik dinasti dan oligarki salah satu sebabnya karena aktor-aktor yang terlibat di dalamnya mengalami defisit watak demokrat. Krisis watak demokrat ini dapat dibaca dari mudahnya para aktor demokrasi menerabas aturan dan etika. Moral hazard, moral suka menerabas merupakan musuh terbesar demokrasi.

Moral hazard menjadi sumbu rusaknya sistem yang dibangun oleh demokrasi. Ketidak-patuhan pada etika dan hukum menjadikan demokrasi tidak pernah berujung pada keadilan sosial.

Di samping itu, watak demokrat juga terpatri dalam kesediaan untuk menerima dan mendengar kritik, menghargai perbedaan, dan mengutamakan tujuan berbangsa ketimbang tujuan pribadi. Menjadi pribadi berwatak demokrat adalah prasyarat menjadi negarawan.

Pendek kata, demokrasi tanpa watak demokrat hanya berputar pada ritus, tidak bergerak maju untuk kebajikan bersama.

Oleh : Haris el Mahdi