MEDIASI – Kecamatan Pulosari merupakan salah satu dari 14 Kecamatan di Kabupaten Pemalang yang terdiri dari 12 Desa dan terletak di daerah berbukit dengan ketinggian + 850 m dari permukaan laut.
Awal berkembangnya syiar Islam di wilayah Pulosari sendiri memang belum ditemukan catatan sejarahnya, hanya sepenggal cerita lisan bahwa syiar Islam di Pulosari kebanyakan melalui jalur ‘birokrasi’ jawatan Pengulu Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama).
Namun secara luas dan terstruktur, syiar Islam di wilayah Pulosari terjadi saat KH Ahmad Thoeri hijrah dari wilayah Moga ke Pulosari.
Berdasarkan cerita tokoh agama dan masyarakat luas Pulosari saat ini, berkembangnya ajaran syariat Islam (fikih dan aqoid tauhid) di Pulosari tidak bisa dilepaskan dari sosok ulama yang bernama KH Ahmad Thoeri. Bahkan, kiprah dan jejak perjuangannya pun diakui tokoh dan masyarakat yang ada di kitaran Pemalang, khususnya wilayah Selatan hingga Majenang (Cilacap).
Dakwah di Tengah Masyarakat ‘Abangan’
Apakah ‘Abangan’ itu? Dikutip dari Wikipedia, Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis, yakni cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah).
Selain itu, kata Abangan diperkirakan berasal dari kata bahasa Arab aba’an. Lidah orang Jawa membaca huruf ‘ain menjadi ngain. Arti aba’an kurang lebih adalah “yang tidak konsekuen” atau “yang meninggalkan”.
Jadi para ulama dulu memberikan julukan kepada para orang yang sudah masuk Islam tetapi tidak menjalankan syariat (bahasa Jawa: sarengat) adalah kaum aba’an atau abangan. Jadi, kata “abang” disini bukan dari kata Bahasa Jawa yang berarti warna merah.
Penyebutan masyarakat Pulosari sebagai golongan ‘Abangan’ juga merujuk pada afiliasi sebagian besar masyarakat dalam pilihan politiknya. Misalnya pada era Zaman Orde Lama & Orde Baru, wilayah Pulosari dikenal geososial-politiknya sebagai wilayah ‘nasionalis-sekuler’. Saat Orde Lama sebagai basis PNI (Partai Nasional Indonesia) dan saat Orde Baru menjadi basis Golkar (Golongan Karya).
Sehingga, pada saat itu, kekuatan ‘politik kekuasaan’ sangat mendominasi dan membatasi gerak syiar Islam di Pulosari. Kaum santri atau agamawan Islam pun masih sedikit, masyarakatnya lebih dominan percaya pada hal-hal yang berbau mistis dan adat kejawennya kental.
Karena itu, hadirnya sosok Mubaligh atau Dai yang mempunyai karisma dan berwibawa menemukan momentumnya. Disaat masyarakat masih gelap akan pemahaman agama Islamnya yang mendalam KH Ahmad Thoeri atau akrab disapa Mbah Thoeri hadir di Pulosari. Kedatangannya seperti ‘Oase’ (sumber mata air) bagi masyarakat yang masih minim mengenal ajaran syariat keagamaan saat itu.
Mbah Kiai Thoeri, selain dikenal pendakwah Islam ahli berorasi (pidato), juga terkenal akan kealimannya dalam ilmu agama. Ia bahkan dipercaya mempunyai ilmu ‘Laduni’ dan ahli hikmah, yang mampu menjawab problematika masyarakat saat itu, baik persoalan lahir mau pun bathin.
Perjalanan Hidup Sang Kiai; Dari Moga ke Pulosari
Menurut penuturan teman dan murid seperjuangannya yang masih hidup saat ini, yakni Kiai Kanapi Clekatakan dan Kiai Pardi Pulosari, bahwa Kiai Thoeri berasal dari Moga. Ia lahir pada tahun 1940 dari pasangan Mbah Toyyib yang berasal dari Desa Gendowang dan Ibu yang berasal dari Desa Moga (belum diketahui nama Ibunya).
Dari garis keturunan jalur bapaknya, beliau masih mempunyai hubungan nasab dengan Kiai Jamil Gendowang. Masa kecil dan remajanya di Moga, ia dan kedua orangtuanya hidup dalam kondisi ekonomi yang serba kurang. Masyarakat sekitar Moga pun saat itu memandang diri dan keluarganya ‘sebelah mata’ alias memandang rendah martabatnya. Bahkan rumah yang berada di Moga pun berdiri berkat bantuan dana dan tenaga dari organisasi Gerakan Pemuda (GP) Ansor.
Kiai Thoeri remaja sejak pulang dari menimba ilmu di Pesantren memang dikenal aktif di organisasi GP Ansor. Saat di Moga memang ia tidak termasuk orang yang dipandang berpengaruh, hingga suatu saat ketika Kiai Mihrob Moga (sebagai mentornya) memberikan kesempatan dirinya tampil di panggung suatu acara. Saat tampil dipanggung acara itulah bakat keilmuannya Kiai Thoeri tampak sehingga orasinya memukau masyarakat Moga.
Sejak kejadian itu, tokoh dan masyarakat Moga dan sekitarnya mulai menghargai dan menghormatinya. Ia mulai dikenal sebagai Dai Muda yang berbakat dan mumpuni serta mempunyai keilmuan agama yang cukup dalam. Hingga kemudian ia hijrah ke Pulosari dan menikah serta berjuang syiar agama di daerah kaki Gunung Slamet tersebut.
Terkait riwayat kehidupan berumah tangganya ini, diceritakan bahwa Kiai Thoeri menikah sekitar 4 kali. Terakhir, ia menikahi perempuan dari Pulosari yang bernama Kustirah yang kemudian sepulang haji berganti nama Nyai Hj. Siti Badriyah. (Bersambung)
