Lestari Moerdijat : Kepemimpinan Tidak Melekat Pada Gender, Melainkan Pada Person

News1090 Dilihat

MEDIASI – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menyatakan sejatinya kepemimpinan tidak melekat pada gender, melainkan pada person.

Menurut Rerie sapaan karibnya, terkait kepemimpinan perempuan di Indonesia bukanlah hal baru. Ia menyebutkan peran perempuan yang sangat besar tercatat di sejarah masa kerajaan Nusantara dan kemerdekaan Indonesia.

“Berdasarkan catatan sejarah bangsa ini, sesungguhnya perempuan Indonesia memiliki potensi yang melekat sebagai pemimpin,” kata Rerie dalam keterangan diterima di Jakarta, Jumat.

Hal itu disampaikannya saat menjadi pembicara kunci secara daring pada acara Indonesia Most Powerful Women Awards 2023 bertema “Leadership Beyond Gender” yang digelar herstory.co.id, Kamis (27/7).

Rerie menerangkan bahwa pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Nusantara, hadir para pemimpin perempuan, di antaranya Ratu Shima (Kalingga), Ratu Kalinyamat (Jepara), Sultanah Safiatuddin (Aceh), Ratu Boki (Ternate), dan pemimpin zaman kerajaan lainnya.

“Mereka memiliki kemampuan melawan penjajah, bahkan mengubah peradaban,” ujarnya.

Kemudian, lanjut dia, pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan, sejumlah perempuan dianugerahi gelar sebagai pahlawan nasional lantaran mampu memimpin kelompok masyarakat di daerah tertentu untuk memerangi penjajah.

“Antara lain, Laksamana Malahayati, Martha Christina Tiahahu, dan Raden Ajeng Kartini,” terangnya.

Menurut dia, distorsi tentang peran perempuan Indonesia yang didaulat hanya berurusan dengan hal-hal domestik kemungkinan terjadi pada periode kolonialisasi, dengan konsekuensi asimilasi nilai dan akulturasi budaya.

Akibatnya, tambah dia, pandangan pada kepemimpinan perempuan Indonesia dalam catatan sejarah berbeda dengan kondisi saat ini, yang memunculkan sejumlah tantangan, utamanya terkait anggapan bahwa perempuan adalah warga kelas dua.

Sehingga, dia menilai dibutuhkan inisiatif individual dan komunal untuk menyudahi tantangan paradigma pemikiran, serta tendensi dan habitus publik yang memandang perempuan sebagai warga kelas dua.

“Bagaimana kita bisa kembali pada semangat kepemimpinan perempuan warisan sejarah Nusantara agar setiap individu punya kesempatan yang sama? Perubahan itu harus dimulai dari perubahan pola pikir,” katanya.

Terakhir, Rerie lantas mengutip buku karya Valencia Ray (2013) berjudul “Leadership Beyond Gender: Transcend Limiting Mindsets to Become a More Engaging Leader”, yang menyebut bahwa sejatinya visi kepemimpinan untuk meningkatkan kehidupan manusia, tidak memiliki gender dan tidak terbatas.