Lima Politisi Perempuan NU Generasi Pertama pada Pemilu 1955

Nusantara1321 Dilihat

MEDIASI – Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) mempunyai pandangan dalam membangun bangsa, negara, dan agama, baik laki-laki mau pun perempuan memiliki peran yang tidak terlalu berbeda. Sehingga wajar jika NU memberi ruang yang cukup luas untuk kalangan perempuan.

Sikap akomodatif terhadap perempuan pun, dimanefestasikan oleh kepengurusan PBNU hasil Muktamar NU di Lampung yang saat ini dinahkodai Gus Yahya (KH Yahya Staquf Kholil) dengan memasukkan perempuan pada jajaran pimpinan tanfidziyah.

Egaliterianisme pada perempuan tersebut sebenarnya sudah terbentuk sejak awal berdirinya NU, termasuk dalam ranah politik.

Pada tahun 1952, saat NU menjadi partai politik dan terlibat langsung dalam Pemilihan Umum1955, kaum hawa (perempuan) sudah diberi ruang yang cukup luas untuk terlibat. Hal tersebut dibuktikan dengan keterpilihan kaum perempuan partai NU lebih banyak yang menjadi anggota legislatif (DPR), dibandingkan tiga partai suara terbanyak pada Pemilu 1955.

Pada Pemilu pertama setelah kemerdekaan RI ini, dari 45 anggota DPR hasil Pemilu 1955, 5 diantaranya adalah perempuan. Sementara PNI dan Masyumi yang sama-sama jumlah anggota DPR memperoleh 75 kursi, hanya terpilih 4 orang perempuan saja.

Seperti dikutip dari tulisan Ayung Notonegoro di laman NU Online, inilah lima perempuan anggota DPR Partai NU hasil pemilu, yang merupakan generasi pertama para politisi perempuan di kalangan NU.  

1. Asmah Sjachrunie

Sejak muda Asmah Sjachrunie memang sudah dikenal sebagai aktifis sosial pendidikan. Politisi perempuan kelahiran Rantau, Kalimantan Selatan, 28 Februari 1928 ini merupakan lulusan Kjoin Joseidjo itu. Ia juga aktif terlibat dalam dunia pendidikan sejak era Jepang. Mulai dari menjadi guru bantu di Futsu Tjo Gakko di Rantau I hingga dipercaya menjadi Wakil Kepala Futsu Tjo Gakko di Rantau III.

Perannya di dunia pendidikan terus berlanjut saat Indonesia telah merdeka. Aktivitas mengajarnya berlangsung hingga 1954. Asmah tercatat ikut membantu mengajar di Sekolah Rakyat VI, mulai Rantau III, Batu Kulur Kandangan sampai Ulin Kandangan.

Selain itu, Asmah juga aktif dalam dunia militer. Di era Jepang, ia ikut dalam barisan Fujinkai (para militer perempuan). Sedangkan di era kemerdekaan, tepatnya tahun 1948-1949, sebelum ada Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) resmi menjadi satuan di TNI,  Asmah juga tercatat sebagai anggota Angkatan Laut.

Keaktifan Asmah terlibat di NU, tercatat ketika ia Konsulat NU wilayah Kalimantan Selatan. Ia aktif sejak tahun 1952 dalam naungan Nahdlatoel Oelama Muslimat (NOM) yang sekarang dikenal dengan Muslimat NU di Kalimantan Selatan. Bahkan, ia juga tiga kali berturut-turut menjadi ketua umum Muslimat NU.

Keaktifan Asmah di NU inilah yang kemudian mengantarkannya menjadi politisi di parlemen. Ia terpilih menjadi anggota parlemen dari dapil Kalimantan Selatan dengan nomor anggota 239.

2. Mahmudah Mawardi

Pengabdian Mahmudah Mawardi dalam gerakan perempuan di lingkungan NU, telah dirintisnya sejak Muslimat NU belum didirikan. Perempuan kelahiran Solo pada 1912 ini aktif sejak usianya belum genap 20 tahun.

Pada 1931 ia mendirikan organisasi wanita lokal di Solo. Organisasi tersebut diberi nama Nahdlatul Muslimat. Salah satu gerakannya adalah mendirikan lembaga pendidikan. Mulai dari TK, Madrasah Ibtidaiyah hingga Madrasah Nahdlatul Muslimat. Di sekolah terakhir ini, Mahmudah terdaftar menjadi tenaga pengajar sejak 1953.

Sehingga tidak heran jika nama Mahmudah Mawardi erat kaitannya dengan Muslimat NU. Ia pun pada akhirnya saat Kongres Ke-IX 1967 didapuk atau terpilih menjadi Ketua Umum Muslimat NU.

Mahmudah tercatat juga pernah berkarir di dunia birokrasi. Pada 1952 ia menjadi pegawai Penerangan Agama Provinsi Jawa Tengah. Lalu, dua tahun kemudian, ia menjadi pegawai Kementerian Agama di Jakarta. Kemudian akhirnya ia pun terlibat di dunia politik dan menjadi anggota legislatif dari Partai NU.

Kiprah politisi lulusan Madrasah Sunnayah dan Pesantren Keprabon Solo ini saat menjadi anggota parlemen dengan nomor anggota 85, salahsatunya ia pernah terlibat aktif dalam penyusunan RUU Perkawinan. Sebagai juru bicara Fraksi-NU, dalam pembahasan RUU yang diajukan oleh Nyonya Sumari dari fraksi PNI tersebut, ia kritisi habis-habisan.

Saat itu, NU dan Masyumi menolak RUU Perkawinan yang dinilai banyak menyimpang dari aturan syara’ tersebut. Sedangkan PNI dan PKI berada di pihak yang mendukung. Setelah melalui perdebatan sengit di sidang parlemen, akhirnya RUU tersebut dinyatakan ditolak.

3. Mariam Kanta Sumpena

Mariam lahir pada Agustus 1927 di Tasikmalaya. Ia terpilih jadi anggota legislatif dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah dari Partai NU pada Pemilu 1955 itu. Meski terpilih dari Jawa Tengah, namun Mariam lebih banyak berkiprah di wilayah Jawa Barat.

Mariam menempuh pendidikan mulai dari Sekolah Rakyat Gadis, Perguruan Muchtariah hingga Tamhidul Mu’allimin. Setelah menyelesaikan masa belajarnya, Mariam mengajar di Bandung. Pada 1941-1945, ia mengajar agama di Sekolah Rakyat Nomor 39. Kemudian pada 1951 – 1956, ia pindah mengajar agama Sekolah Rakyat Raden Dewi.

Di sela-sela aktivitasnya di sekolah, Mariam juga menjadi ketua di organisasi wanita. Pada 1942 – 1946, ia terpilih menjadi ketua umum Pemudi NU Cabang Bandung dan juga ketua umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia Puteri di Bandung.

Kegiatan Mariam dalam dunia politik, telah dirintisnya sejak NU masih bergabung dengan Masyumi. Pada 1947 – 1951 ia menjabat sebagai sekretaris Muslimat NU Cabang Bandung dan juga sekretaris Masyumi daerah Priangan. Pada 1951, ia naik menjadi wakil ketua konsul Muslimat Jawa Barat. Jabatan terakhir tersebut, dijabat hingga ia terpilih menjadi anggota parlemen dengan Nomor 195 pada Pemilu 1955.

4. Marjamah Djunaidi

Marjamah Djunaidi lahir pada 15 September 1922 di Jember, Jawa Timur. Ia tercatat menjadi anggota parlemen dengan nomor urut 207.

Menurut Ayung Notonegoro, riwayat sejarah tentang Marjamah yang dimilikinya terbatas. Pendidikan Marjamah diperolehnya dari pengajian langgaran di kampung halamannya dan juga di Taman Siswa.

Marjamah dikatakan telah terlihat sebagai perempuan aktif sejak muda. Di masa Belanda, ia menjadi anggota KBI. Selain itu juga masuk dalam organisasi Indonesia Muda.

Di NU sendiri, ia aktif di Muslimat. Saat terpilih menjadi anggota DPR dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Timur, ia merupakan mantan Ketua Konsul Muslimat Jawa Timur.

5. Hadinijah Hadi Ngabdulhadi

Hadinijah Hadi Ngabdulhadi  lahir di Purwokerto pada 5 Januari 1928. Ia menempuh pendidikan di Muallimat dalam Sekolah Guru Puteri Islam. Kemudian, ia pindah ke Barabai, Kalimantan Selatan, sebelum terpilih menjadi anggota legislatif.

Hadinijah menjadi anggota DPR pada Pemilu 1955 dikarenakan menggantikan Haji Fatah Jasin yang berhalangan tetap sebagai anggota terpilih parlemen saat itu. Ia terpilih dari Dapil Jawa Timur.

Meski pun berasal dari Dapil Jawa Timur, Hadinijah dikenal memiliki pengalaman luas lintas daerah.

Saat di  Kalimantan Selatan, Hadinijah aktif mengajar di Sekolah Rakyat Islam Haruyan sejak 1945 hingga 1947. Kemudian pindah mengajar di Muallimat Barabai hingga 1949.

Selain sibuk di dunia pendidikan, ia juga aktif terlibat dalam organisasi kewanitaan. Ia pernah menjabat Ketua Cabang Perwani (Persatuan Wanita Indonesia) Barabai dan menjadi Wakil Ketua Cabang Gappika (Gerakan Pemuda Pemudi Kalimantan) Barabai.

Pada 1950, Hadinijah pindah ke Desa Balong, Kecamatan Kandat, Kediri, Jawa Timur. Di tempat baru ini, ia kembali mengajar di Sekolah Rakyat Islam di kampung barunya tersebut. Pada saat yang bersamaan ia juga aktif dalam kepengurusan Konsul Muslimat NU Jawa Timur.

Menariknya, saat Pemilu 1955, Hadinijah sebenarnya menjadi Panitia Pemilu sebagai Wakil Ketua PPS Kecamatan Kandat Kabupaten Kediri sebagai utusan dari Partai NU. Pada saat itu, memang diperbolehkan utusan partai untuk terlibat dalam kepanitiaan. Namun, justru ia yang menjadi anggota parlemen saat terjadi pergantiaan.

Posisi Hadinijah sebagai Ketua Konsul Muslimat NU Jatim itulah, yang menjadi pertimbangan ia terpilih menjadi anggota parlemen mewakili Partai NU hasil Pemiu 1955.

Kelima para politisi perempuan nahdliyin dan anggota DPR RI Partai NU generasi awal inilah yang kehadirannya tak sekadar melengkapi struktur, tapi juga memiliki peran yang cukup signifikan dalam mewarnai kancah politik guna membangun bangsa dan negara Indonesia.