Mbah Kyai Toyyib Gombong; Sang Mursyid Pendiri 40 Masjid dan Berhaji 7 Kali

Ensiklopedi2222 Dilihat

MEDIASI – Semakin menyebar luasnya agama Islam di bumi nusantara ini tidak bisa dilepaskan dari peran sentral para ulama yang biasa disebut Kyai sebagai pendakwah (penyebar agama),  dan Masjid serta Pondok Pesantren sebagai pusat ibadah dan peradaban-keilmuan Islam (tempat dakwah).

Dirunut dari sejarahnya, berdirinya pondok pesantren – pondok pesantren di Karangtengah Warungpring, termasuk juga pondok pesantren di Bengkeng Mereng Warungpring dan masjid-masjid kuno yang ada di kitaran Pemalang wilayah selatan nasab dan sanad keilmuan serta jasanya tidak bisa dipisahkan dari seorang mursyid pertama Thoriqoh Syatoriyah di Pemalang, yakni KH Muhammad Thoyib atau akrab disebut Mbah Kyai Toyyib Gombong.

Dari riwayat penuturan sejarah keagamaan di Pemalang selatan, khususnya kitaran kecamatan Warungpring, kemasyhuran nama dan perjuangan Mbah Kyai Toyyib Gombong sangat dikenal, bahkan karomah kewaliannya pun diakui para tokoh agama dan masyarakatnya. Sehingga, banyak para peziarah yang datang untuk ngalap berkahnya. Setiap bulan Rabiul awwal atau bertepatan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, haul meninggalnya Mbah Kyai Toyyib diperingati dan dihadiri berbagai kalangan masyarakat.

Terlahir Bernama Tawang

KH. Muhammad Thoyib lahir pada tahun 1871 M di Dusun Karangtengah Desa Warungpring Kecamatan Warungpring Kabupaten Pemalang dari Pasangan Mbah Dasmi dan Ibu Hajjah Khotijah dengan nama lahir TAWANG.

Mbah Dasmi, ayah KH. Muhmmad Thoyib adalah seorang Polisi desa di Dusun Karangtengah Desa Warungpring.  Mbah Dasmi dikenal pada saat itu sebagai seorang yang jujur, loman (dermawan) dan sangat tinggi pengabdian dan kepeduliannya pada masyarakat, terutama kepada kaum Dhu’afa (Fakir miskin). Bukti dari kejujuran dan kepedulian mbah Dasmi diantaranya adalah adanya sebuah saluran air yang memanjang dari sungai Waluh di sebelah utara Dusun Karangtengah sampai ke desa Karangdawa Kecamatan Warungpring sepanjang 3 Km yang bisa mengairi sawah seluas 30 H. Mbah Dasmi memberikan tanah selebar satu meter dan panjang 500 meter untuk dibuat saluran air yang dipergunakan untuk kepentingan sanitasi dan pertanian masyarakat, oleh sebab itu saluran air tersebut dinamakan “Wangan Dasmi”.

Mbah Dasmi pada saat itu, mempunyai seorang menantu yang kebetulan menjadi kepala desa (lurah) yang bernama Haji Ismail. Setelah mbah Dasmi melihat bahwa Haji Ismail banyak tamunya dan pada saat itu bengkoknya belum luas, maka Mbah Dasmi menghibahkan sebidang tanah sawah seluas setengah Bau untuk dijadikan bengkok yang sampai sekarang menjadi milik dan jadi Bengkok Desa Warungpring.

Mbah Dasmi juga dikenal cinta kepada ulama, salah satu buktinya putra mbah Dasmi keenam yang bernama Tawang ini sejak kecil sudah diperintahkan dan dipasrahkan untuk belajar agama terutama belajar Al-Qur’an pada Kyai Asnawi Tegalharja Desa Warungpring. Berkat dari kepedulian kepada masyarakat dan kedermawanan serta kecintaannya kepada para ulama, anak Mbah Dasmi yang keenam menjadi ulama besar yang alim, sholeh dan mempunyai cukup banyak karomah yaitu Tawang yang kemudian berganti nama dan terkenal bernama KH Muhamad Thoyib. Bukan hanya itu saja, boleh dikatakan sebagian besar tokoh agama dan masyarakat di Desa Warungpring yang meliputi Dusun Gombong, Dusun Karangtengah, Dusun Pamulian, Dusun Tegalharja adalah anak cucu dan buyut bahkan canggah atau keturunan dari mbah Dasmi. Kiranya benar dalam kitab Ta’limul Muta’alim dikatakan “Apabila ingin mempunyai keturunan yang alim dan sholeh, maka harus loman (dermawan) dan cinta kepada Ulama.

Nyantren hingga menjadi Mursyid Thoriqoh Syatoriyah

KH Muhammad Thoyib yang nama kelahirannya Tawang, sejak kecil sudah menunjukkan akan menjadi orang yang alim dan sholeh sekaligus sebagai tokoh yang menjadi panutan umat. Pada usia kurang lebih 7 tahun beliau setiap hari mengikuti rayatnya (pembantu) yang menggembalakan kerbau ayahnya ditempat pangonan  (Penggembalaan kerbau). Beliau mengajak teman-temannya untuk latihan sholat, kadang-kadang pidato (khutbah) dan tahlilan-tahlilan di Petilasan Mbah Sigit yang sekarang makamnya ada di daerah Tegal.

Pada usia 10 tahun beliau mulai belajar mengaji Al-Qur’an  kepada Kyai Asnawi Tegalharja, setelah beliau hatam Al-Qur’an beliau meneruskan belajar ilmu pasholatan kepada KH Abdul Karim Randudongkal, setelah menamatkan beberapa kitab terutama kitab fiqih, beliau meneruskan belajar ke Pondok Pesantren Mangkang Tugu Semarang, disana beliau belajar ilmu Nahwu Shorof dan Ilmu Hisab (Falaq), kemudian setelah mendapatkan beberapa ilmu tersebutm dari Mangkang pindah ke Lemahduwur Tegal untuk belajar ilmu Fiqih kepada KH Hasan Anwar dan juga Kyai Abdul Jalil Pulo, kemudian memperdalam ilmu Tauhid kepada Kyai Ubaidah Giren Talang Tegal. Setelah mendapatkan beberapa ilmu Syariat dan Ilmu Hakikat maka beliau meneruskan belajar ke Pondok Pesantren Sindang Laut kepada KH Syamsuri disana beliau belajar ilmu khikmah, dan kemudian setelah sudah merasa cukup belajar ilmu hikmah, maka meneruskan belajar kepada KH Abdul Jamil Buntet Cirebon tentang ilmu Thoriqoh, yang akhirnya pada tahun 1904 beliau mendapat izin dari KH Abdul Jamil untuk membaiat Thoriqoh Syatoriyah dengan bahasa tata krama tabaruk.

Pada tahun 1907 beliau melakukan ibadah haji dan meneruskan belajar ilmu syariat serta tasawuf kepada As-Syaikh Al-Alamah Mahfud At-Termasi di Makkatul Mukaromah. Syaikh Mahfud adalah ulama kelahiran Termas Jawa Timur yang menjadi Muallim (pengajar) di Masjidil Harom Mekah. Kitab Karangan Syaikh Mahfud banyak sekali, diantaranya Syarah Alfiyah Suyuti, Syarah Minhajul Qowim. Selain itu, KH Muhammad Toyyib  juga belajar kepada  Syaikh Dlomir Al-Makki, Syaikh Mukhtarom al-Makki, Syaikh Muhammad Sya’id Syatho al-Makki dan Syaikh Hamzah al-Makki.

Pernikahan dan Keturunannya

Pada tahun 1896, dalam usia 25 tahun beliau menikah dengan Ibu Sudiyah dari desa Kalitorong dan dikaruniai satu anak yang bernama H. Khudori (Almarhum) kemudian firoq (cerai). Kemudian beliau menikah lagi dengan Ibu Nyai Sarti, tidak dikaruniai anak, kemudian bercerai. Setelah itu, beliau menikah lagi dengan Nyai Jenah dari Bengkeng Warungpring, dikaruniai 9 anak, yaitu: KH Khariri, H. Jamhari, H. Dajri, H. Ajhuri, Hj. Siti Khudriyah, Kyai Asnuri

7. Nyai Khuriyah

8. Nyai Mudlihah

9. Masruri

KH Muhammad Toyyib kemudian menikah lagi dengan Nyai Muriah dari Tegalharja tapi ditidak dikaruniai anak. Nyai Muriah meninggal di Mekkah saat melaksanakan ibadah haji. Sepulang dari ibadah haji beliau menikahi adik Nyai Muriah yaitu Nyai Siti Mariyah dan dikaruniai satu anak yang bernama Siti Khoeriyah yang kemudian dinikahkan dengan almaghfurlah KH Syahmari bin Kyai Syarif (Pendiri Pondok Pesantren Mislakhul Muta’alimin Karangtengah). Kemudian setelah nyai Siti Mariyah wafat, beliau menikah lagi dengan Siti Aisyah dan dikaruniai dua anak yaitu :

1. Ust. Masykuri

2. Makhruri (almarhum)

Riwayat pernikahan terakhir, KH Muhammad Toyyib menikah dengan Nyai Wastimah tetapi tidak dikaruniai anak.

Mendirikan 40 Masjid dan Menunaikan Ibadah Haji 7 Kali

Setelah pulang dari menuntut ilmu di berbagai pesantren, KH. Muhammad Thoyib pada tahun 1893 mulai mengembangkan Ilmu yang diperolehnya di Dusun Karangtengah dan sekitarnya. Karena akhlaknya yang begitu baik, punya jiwa lentur, terbuka dalam menerima saran, dan menghargai pendapat orang lain, sehingga pada saat itu beliau mendapat izin mengajar dari pemerintah Belanda.

Selain menyelenggarakan pendidikan dengan sistem Pondok Pesantren di Karangtengah, beliau juga mengadakan dakwah di berbagai desa dengan cara yang halus, telaten, tidak mengenal payah, tidak pernah mengeluh dalam menghadapi tantangan dan rintangan, sehingga dapat mendorong masyarakat di berbagai desa dan kecamatan untuk mendirikan masjid Jami’ sampai 40 masjid di berbagai kecamatan, dari kecamatan Warungpring, Kecamatan Moga, Kecamatan Randudongkal, Kecamatan Bantarbolang, Kecamatan Pulosari, Kecamatan Belik, dan Kecamatan Watukumpul. Beliau juga memberikan dorongan kepada Kaum muslimin yang sudah mampu yang belum sadar untuk melakukan ibadah haji.

Pada saat itu beliau sudah bisa menyelenggarakan bimbingan ibadah haji, maka tepat pada tahun 1907 beliau berangkat ibadah haji yang pertama. Kemudian pada tahun 1917 beliau berangkat haji untuk yang kedua, kemudian pada tahun 1921 beliau berangkat haji untuk yang ketiga, pada tahun 1925 beliau berangkat haji untuk keempat. Pada tahun 1930 beliau berangkat haji untuk yang kelima kalinya dan bermukim di Mekkah sampai tahun 1933, sehingga jumlah melakukan ibadah hajinya sampai tujuh kali.

Pada tahun 1903 beliau mendapat ijin untuk menjadi kholifah Thoriqoh Syatoriyah, sehingga mulai saat itu beliau mengembangkan Thoriqoh Syatoriyah yang muridnya tersebar di beberapa daerah.

Khidmah dan Aktif Berorganisasi

KH. Muhammad Thoyyib kecuali sebagai Ulama Pesantren sekaligus mursyid Thoriqoh Syathoriyah juga aktif di kepengurusan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, contoh buktinya pada awal Nahdlatul Ulama  dibentuk di Kabupaten Pemalang, beliau pada saat itu menjadi presiden Nahdlatul Ulama Kabupaten Pemalang yang sekarang disebut Musytasar, beliau juga sering mengikuti kegiatan-kegiatan Mukhtamar Nahdlatul Ulama.

Belajar Keteladanan dari Mbah Thoyyib

KH. Muhammad Thoyyib orang sangat pantas harus diteladani dalam berbagai kehidupan, baik soal agama, perjuangan, sosial ekonomi, dan kemasyarakatan, beliau adalah orang yang sangat ulet dalam berjuang dan sabar, tidak pernah mengeluh dalam menghadapi tantangan dan cobaan, hasudan dan rintangan, tidak pernah menyampaikan atau mengeluhkan orang-orang yang memusuhinya atau mengasutnya, bahkan mereka yang memusuhi atau yang merintangi dan menghasudi dianggap sebagai guru dan teman yang baik, beliau sangat suka memuji, menghargai orang yang berjasa kepada beliau, tetapi tidak pernah mencaci maki apalagi memfitnah kepada orang yang bersebrangan.

Beliau sangat loman dan peduli kepada fakir miskin, contoh yang kongkrit adalah pada saat beliau menjumpai pedagang yang membawa bahan-bahan semacam alat dapur atau gerabah kok sampai sore belum laku, maka oleh beliau dibeli walaupun di rumah sudah banyak, tapi nanti diberikan kepada keluarga atau familinya yang membutuhkan.

Beliau sangat suka menghibur orang-orang yang sedang kesusahan, jika ada saudara atau famili atau tetangga terutama yang miskin sedang sakit atau meninggal dunia pasti beliau menengok sampai selesai bahkan memimpin terbangan / rebana, tidak pernah ada hari libur atau bulan tanpa untuk menengok keluarganya yang sedang kesusahan, baik di Gombong, di Karangtengah  maupun di Pamulian serta Pakembaran dan beberapa desa yang dimana ada santri beliau. Jika ada orang yang menentang atau memusuhi, mereka malah sering dikirimi salam dan beliau sering bersilaturrahmi kepada mereka, beliau orang yang sangat pemaaf, tidak pernah dendam dan tidak ambisi kedudukan, jika bertemu atau melakukan sholat jama’ah bersama Kyai lain walaupun mereka lebih muda, Kyai Toyib tidak mau menjadi imam.

Lahir dan Meninggalnya Sang Mursyid

KH. Muhammad Thoyib dilahirkan di Dusun Karangtengah pada tahun 1871 beliau dibesarkan dan mengembangkan ilmunya sampai tahun 1917 di Karangtengah. Karena pertimbangan keluarga maka pada tahun 1917 beliau pindah ke Gombong Warungpring dan tetap menajar di Pondok Pesantren serta melakukan dakwah dengan cara yang lentur dan khidmat serta mengembangkan Thoriqoh Syatoriyahnya sampai pada tahun 1958.

Sebelum meninggal dunia, tepatnya pada hari Rabu Tanggal  10 Robiul Awal Tahun 1379 H / 1958 M Jam 5 Sore (ba’da Ashar), beliau memanggil menantunya KH. Syahmarie (Almarhum) untuk diberi wasiat. Wasiat yang disampaikan adalah antara lain setelah kepulangan beliau agar KH. Syahmarie meneruskan perjuangannya dan meneruskan pembaiatan Thoriqohnya, kemudian apabila beliau meninggal idak usah diempat puluh harikan (dipatangpuluh) namun yang penting di Khauli setiap bulan Robiul Awal atau Mulud.

Wallahu ‘alam bishowwab.