Dunia Pesantren dan Pendidikan Toleransi

Publika1146 Dilihat

MEDIASI – Pemalang, pada Sabtu (18/11/2023) bertempat di aula pertemuan Pondok Pesantren Babussalam Nurul Iman, Desa Sikasur, Kecamatan Belik, Pemalang. Penggerak Gusdurian Pemalang bersama Pengurus Wilayah FKDMI Jawa Tengah mengadakan peringatan Hari Toleransi Internasional dengan menggelar diskusi yang bertajuk “Dunia Pesantren dan Pendidikan Toleransi“.

Acara dihadiri oleh sekitar lima puluhan peserta dari berbagai kalangan. IPNU-IPPNU, Pengurus OSIS SMK NU 01 Belik, pengurus Pramuka SMK NU 01 Belik dan para penggerak Gusdurian Pemalang serta Aktivis Ikatan Mahasiswa Pemalang (IMP) Purwokerto dan IMPP Pekalongan.

Gelaran peringatan Hari Toleransi Internasional ini dibuka oleh Pengasuh Pondok Pesantren Babussalam Nurul Iman sekaligus Koordinator Penggerak Gusdurian Pemalang, Azis Nurizun.

Pada sambutan pengantarnya, pria yang akrab disapa Azis Izun ini memaparkan sekelumit sejarah Gusdurian di Pemalang, apa saja kegiatan yang sudah dilakukan, dan peran-peran Gusdurian selama ini serta sekelumit tentang hubungan Gusdurian dan pesantren yang didirikannya.

“Pesantren Babussalam Nurul Iman dan termasuk SMK NU 01 Belik, dalam sejarah perjalanannya itu berhubungan erat dengan keberadaan Jaringan Gusdurian. Nilai-nilai yang diajarkan di pesantren di sini diantaranya selain entrepreunership, juga edukasi toleransi seperti nilai-nilai yang diajarkan dan ditauladankan oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,” tandasnya.

Azis Izun lebih jauh mengatakan bahwa nilai-nilai Gus Dur selalu relevan hingga kini. Tugas Gusdurian adalah merawat nilai-nilai ajaran Gus Dur dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara itu narasumber acara terdiri dari berbagai kalangan praktisi dan aktivis pendidikan. Tampil narasumber sebagai pemantik diantaranya, Asep Amaludin, dosen Fakultas Dakwah UIN Saifuddin Zuhri Purwokerto. Dalam paparannya, Asep menjelaskan bahwa kementerian Agama melalui program moderasi agama dan moderasi beragama mengajak masyarakat agar menerapkan perilaku yang luwes dalam menjalankan ajaran agama.

Asep mengungkapkan, dalam pergaulan, hubungan sosial harus tetap terjalin harmoni. Perbedaan bukan sekat yang memisahkan persahabatan. Yang paling pokok, perbedaan dalam urusan peribadahan dan ritual merupakan keniscayaan yang wajar dan tak perlu menjadi tembok penghalang pergaulan antar sesama.

Sementara itu narasumber pemantik diskusi yang lain, Wildan Azhar Mayzan, sebagai pembicara dari penggerak Gusdurian Pemalang mengajak agar generasi muda mengedepankan tenggang rasa dalam hubungan yang akrab dan kekeluargaan di manapun berada.

“Anak muda, meski energinya lebih besar, mereka perlu mendengarkan ide-ide yang berasal dari mana saja. Tak perlu egois merasa pendapatnyalah yang paling benar.” Kata Wildan yang saat ini menjadi Direktur Nettfid Kabupaten Pemalang

Dalam diskusi itu, narasumber ketiga M Dhofier yang juga aktivis pendidikan melihat dua hal, pertama, toleransi merupakan kemauan dan kemampuan di dalam diri menerima liyan. Perbedaan merupakan kekayaan keragaman yang indah. Penerimaan atas perbedaan menjadi gerbang pertama wujudnya rasa damai. Kedua, toleransi berangkat dari kehendak untuk memandang orang lain dalam kacamata kesetaraan.

“Tidak ada manusia lebih unggul dari manusia lainnya. Penerapan dalam dunia pendidikan misalnya, tidak boleh ada relasi kuasa antara guru murid, tidak ada perlakuan berbeda antara siswa laki-laki dan perempuan, dan pelayanan yang adil dalam pembelajaran bagi siswa,” jelas Dhofir yang juga saat ini menjadi aktivis Pendamping pemberdayaan masyarakat Perhutanan Sosial di wilayah Batang.

Diskusi diwarnai pertanyaan-pertanyaan tajam dari anak-anak muda IPNU-IPPNU. Di antaranya, Israh, menanyakan sejauh mana nilai-nilai toleransi diterapkan dalam sebuah organisasi. Dijawab oleh Asep bahwa hal utama dalam toleransi adalah nilai kemanfaatan. Pilihlah keputusan hasil mufakat ketimbang ngotot memenangkan keputusan pribadi. Sebuah keputusan organisasi akan diperjuangkan bersama jika setiap orang dalam organisasi tersebut telah merasa terwakili dalam keputusan yang dimaksud.

Sementara itu, Wildan memberikan jawaban bahwa egoisme dalam gagasan adalah sumber perpecahan yang bisa menghambat tujuan bersama dalam menjalankan roda organisasi.

Kegiatan diskusi ditutup dengan pemberian kenang-kenangan untuk para pembicara, yaitu buku “Prisma Pemikiran Gus Dur” dan suvenier kaos ‘Gus Dur’ dari Seknas Gusdurian.