Kiai Abdul Jamil Pepedan, Pejuang Hizbullah yang Terlupakan

Ensiklopedi1285 Dilihat

MEDIASI – Desa Pepedan merupakan salah satu desa terkecil luas wilayahnya dan masuk administrasi Kecamatan Moga Pemalang. Nama Pepedan sendiri seperti yang dikutip dari situs www.pepedan-moga.desa.id, berdasarkan adat istiadat secara turun-temurun sejak zaman Kerajan Mataram memiliki arti “Terapit Dua Sungai” . Nama Pepedan ini sudah melekat dan ada sejak zaman Penjajahan  Belanda dan namanya tetap lestari sampai sekarang.

Dua sungai yang mengapit Desa Pepedan, yaitu Sungai Kerep dan Sungai Comal, bahkan sebagian orang memitoskan arti Pepedan adalah “yen wis kepepet dadi edan”.

Walau pun wilayahnya tidak luas dan jumlah penduduknya tergolong sedikit, dari Desa Pepedan banyak tokoh-tokoh yang cukup mumpuni dan disegani oleh masyarakat luas berasal dari desa ini. Sebut saja ada KH Aufal Marrom (menantu KH Maemun Zubair Sarang Rembang), Kiai Syarif (yang melahirkan pesantren besar di Karangtengah), Kiai Kholil, Kiai Maqsudi, dan termasuk juga KH Abdul Jamil yang akan diceritakan sejarahnya di sini.

Biografi Singkat KH Abdul Jamil

KH Abdul Jamil dilahirkan di Desa Kalimas Kecamatan Randudongkal pada 6 November 1922 dari rahim seorang ibu yang bernama Siti Zainab bin KH Abdul Karim Randudongkal. Sedangkan dari pihak ayah, beliau merupakan putra tunggal dari Kiai Affandi dari Kalimas Randudongkal.

Sebagai cucu Kiai besar yakni KH Abdul Karim Randudongkal, beliau menghabiskan masa kecil dengan belajar Tajwid , Fiqih dasar di Surau Baitul Karim hingga umur 13 tahun. Pada tahun 1935, Kiai Jamil melanjutkan pendidikan ke Pesantren Buntet Cirebon. Di Pesantren Cirebon ini, beliau diasuh dalam bimbingan KH Akyas Abdul Jamil, KH Anas Abdul Jamil, KH Anwar Zahid, KH ilyas Abdul Jamil, dan Kiai Kriyan.

Kitab yang beliau kaji dan pelajari khususnya adalah Kitab Jaliyadul Kadar karya Sayyid Ali al Barzanji, Kitab Hidayatul Qori’ ila Tajwid Kalam Bari ‘ karya Syaikh Abdul Fattah al Mursafy. Ia juga melahap semua kitab pesantren karya ulama nusantara seperti karya KH Ihsan Jampes, Syekh Nawawi al Bantani. Beliau menghabiskan masa mondoknya di Buntet pesantren hingga 1946. Setelah itu, beliau pulang ke rumah membantu ibundanya Nyai Zainab dan Kiai Affandi di Randudongkal.

Pejuang Laskar Hizbullah di Pemalang Selatan

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda masuk kembali ingin menjajah Indonesia dengan menguasai ibukota negara saat itu, Yogyakarta. Kemudian Belanda menyebar ke segala penjuru nusantara hingga akhirnya sampai di wilayah Pemalang Selatan.

Kiai Abdul Jamil pun tergugah untuk mengemban misi perjuangang kemerdekaan melalui Laskar Hisbullah. Beliau merupakan salah satu dari sekian banyak santri kala itu yang ikut pelatihan Hizbullah.  Terjadi pertempuran antara Hizbullah dan Belanda di Pemalang Selatan cukup sengit, hingga kemudian bersama teman-teman seperjuangannya, Kiai Jamil membuat posko tenda di Desa Pepedan. Selama masa perang itu Laskar Hizbullah berhasil menghabisi antek- antek Belanda dari satu dusun ke dusun lainnya. Di Desa Pepedan ini, Kiai Jamil bertemu dengan Sumarni bin KH Abdurrahman, sebagai penjaja makanan selama masa perang yang kemudian dinikahi sebagai pendamping hidupnya.

Keluarga dan Perjuangannya

KH Abdul Jamil mempersunting Sumarni pada tahun 12 januari 1965 dan dikarunia 6 orang anak dan 13 cucu, namun anak keduanya yang bernama Siti Walidah wafat saat masih usia remaja.

Dari Randudongkal kemudian ia pun memutuskan hijrah ke Desa Pepedan. Ia bersama dengan Kiai Kholil dan Kiai Maqsudi bahu membahu membentuk peradaban Islam di Desa Pepedan, mulai dari membangun masjid hingga madrasah. Pada saat sebelum tahun 1965-an, konon masyarakat Pepedan masih dikenal dengan paganisme-nya menyembah Candi Watu Nangka dan sesajen di Watu Wayang.

Kiai Jamil juga mengabdikan dirinya dalam seminggu ada 3 hari waktu beliau syiar agama di luar Pepedan. Setiap hari Rabu di Baitul Karim Randudongkal beliau mengajar Tafsir Jalalain, kemudian hari Sabtu di Masjid Agung Randudongkal beliau mengaji Kitab Tafsir Misbah, dan di Majelis Watukumpul beliau mengisi kitab- kitab fiqih , Safinatun najah, Kasyifatus saja’.

Salah satu yang unik dan khas dari Kiai Jamil Pepedan adalah setiap mengajar beliau selalu mengenakan pakaian serba putih dari mulai peci sampai sarung, kemudian beliau membawa kitabnya pun dengan di tutup kain putih. Beliau juga dikenal rutin istiqomah mengamalkan berbagi bacaan Hizb, Dalail dan Ratibul Athos.

Kisah Menjelang Wafatnya

KH Abdul Jamil wafat tepat pada hari Kamis, 16 November 2004 , waktu petang ba’dha Ashar.

Kebiasaan beliau adalah terbiasa jika selepas mengajar ba’da dhuhur, di rumahnya beliau selalu nderes (muthol’ah), terkadang baca dalail , waktu sore hari itu semua seperti biasanya.

Setelah selepas sholat, beliau berpesan pada anak-anaknya , “bapa ajeng sare riyin nggeh“ , tanpa terasa saat anakanya mencoba membangunkan sang Kiai untuk memimpin sholat Maghrib, beliau ternyata sudah tidak bernafas, masih dengan mengenakan baju khas beliau dari peci dan sarung putih, sambil terlihat wajah tersenyum dengan memeluk Al Quran. InsyAllah beliau husnul khottimah dan min ahli jannah… Allohummaghfirlahu warhamhu wa afihi wa’fu anhu. Al Fatihah

Oleh : Imam Dahlizi (Penikmat Sejarah dan Penggerak Gusdurian Pemalang di Moga)