MEDIASI – Peneliti dari Institute of Government and Public Affairs Universitas Gadjah Mada (UGM) Arif Novianto menegaskan pentingnya perlindungan sosial bagi para pengemudi ojek online (ojol) dan kurir untuk melindungi mereka dari kemiskinan.
Arif mengatakan para pengemudi platform digital seperti Gojek, Grab, Maxim, dan lainnya, sudah sepatutnya mendapatkan jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan, karena hubungan mereka dengan perusahaan tidak lagi mencerminkan kemitraan sejati.
“Kalau kita lihat dari sudut pandang yang lebih kritis, dalam hubungan kemitraan seharusnya ada aspek saling memperkuat dan setara. Tapi pada praktiknya, keputusan diambil sepihak oleh perusahaan,” ujar Arif seperti dilansir dari laman Antara, Selasa (28/4/2025).
Sulitnya pengemudi ojek daring menerima jaminan sosial ini mengingat dalam hubungan antara platform dan pengemudi hanya bersifat kemitraan. Status inilah yang membuat perusahaan merasa tak memiliki tanggung jawab untuk melindungi para pengemudi daring ini.
Padahal, kata Arif, platform telah mengambil untung atau potongan dari setiap pesanan yang masuk kepada para pengemudi yang jumlahnya cukup besar. Begitu juga dengan penentuan tarif yang dianggap hanya diputuskan satu pihak saja yakni penyedia platform.
“Artinya kalau memang ingin menciptakan iklim atau ekosistem ekonomi digital itu baik, maka mereka (platform) harus melindungi driver-nya. Jangan sampai kemudian driver-nya sakit dibiarkan, driver-nya kecelakaan mereka tidak bertanggung jawab,” kata dia.
Data survei yang dilakukan lembaganya menunjukkan bahwa hampir 70–80 persen pengemudi daring pernah mengalami risiko kerja akibat kelelahan bekerja lebih dari 13 jam per hari. Ironisnya, kurang dari 40 persen pengemudi memiliki jaminan sosial, sebagian besar hanya dari program bantuan pemerintah.
“Ini memperlihatkan pentingnya jaminan, seperti kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Bukan hanya soal keadilan, tapi juga perlindungan dasar bagi pekerja,” katanya.
Arif juga menyinggung perubahan sikap pengemudi terhadap status kemitraan. Jika sebelumnya banyak pengemudi nyaman dengan sistem mitra karena bonus tinggi, kini sebagian besar justru menginginkan status sebagai pekerja formal.
“Sekarang sekitar 58 persen driver ingin menjadi pekerja. Karena ada kepastian upah, jaminan sosial, dan biaya operasional ditanggung perusahaan,” kata dia.
Ia mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), untuk mengakhiri “kemitraan semu” yang berlangsung ini. Menurutnya, sudah saatnya pemerintah meninjau ulang klasifikasi hubungan kerja ini, sebagaimana telah dilakukan di sejumlah negara seperti Inggris, Belanda, dan Swiss.
“Di negara-negara tersebut, driver platform tidak bisa lagi disebut mitra karena sudah terpenuhi tiga unsur hubungan kerja: ada upah, ada perintah, dan ada pekerjaan dari platform. Maka sudah seharusnya mereka dikategorikan sebagai pekerja,” kata Arif.
Arif mendorong Kemnaker untuk bersikap lebih proaktif dalam melindungi pengemudi daring agar tidak terus dirugikan oleh hubungan kerja yang timpang.
Sementara itu pengemudi ojol, Manyono (58) menyebut pengemudi ojol hingga kini belum mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan yang layak dari perusahaan aplikasi.
Kepesertaan dalam program BPJS Ketenagakerjaan sepenuhnya dibebankan kepada para pengemudi itu tanpa dukungan kontribusi dari perusahaan penyedia platform.
Padahal, profesi sebagai pengemudi ojol mengandung risiko tinggi yang menuntut perlindungan sosial memadai, mulai dari jaminan kecelakaan kerja hingga pensiun.
Tanpa adanya bantalan perlindungan, para pengemudi berada dalam posisi rentan terhadap risiko ekonomi maupun kecelakaan kerja, terlebih dengan jam kerja yang kerap melebihi 12 jam per hari.
“Semestinya kita dilindungi jaminan sosial. Meski kemitraan tapi status kita layaknya pekerja. Ada sanksi apabila kita tidak performed,” kata Manyono.
Ia mendorong agar pemerintah menegaskan bahwa pengemudi ojek daring bukan sekadar “mitra”, melainkan bagian dari ekosistem kerja digital yang harus dilindungi secara hukum dan sosial.