MEDIASI – Berbaik sangka (Positif thinking atau Husnudzon) merupakan bagian dari ajaran Islam. Positif thinking diperintahkan bukan hanya kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Allah SWT.
Kita diperintahkan untuk berprasangka baik bahwa Allah akan memperlakukan kita dengan baik, akan memberikan kita kebahagiaan, akan menyelamatkan kita di akhirat. Jika kita berprasangka baik kepada Allah, maka Allah akan memperlakukan kita sebagaimana prasangka baik kita itu.
Dalam sebuah hadis qudsi, Allah ta’ala berfirman:
انَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاء
“Aku ‘mengikuti’ prasangka hamba-Ku kepada-Ku, maka silakan berprasangka apa saja terhadap-Ku.” (HR. Ahmad).
Akal yang sehat dan jiwa yang lurus tentu akan memilih untuk berprasangka baik kepada Allah. Kalau Allah memperlakukan manusia sesuai dengan prasangka manusia itu sendiri terhadap Allah, maka akan lebih bagus jika manusia berprasangka yang baik-baik saja.
Negatif Tinking adalah Penyakit
Sementara kebalikan dari Positif tinking adalah prasangka buruk (Su’udzon atau Negatif thinking). Penyakit hati berupa negatif thinking ini bukan perkara ringan dan remeh. Ia juga bisa disebut bagian dari penyakit jiwa dan penyakit berbahaya yang dapat membunuh iman, dan orang yang dihinggapi penyakit ini merupakan orang yang jauh dari ketakwaan.
Sehingga ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai hal ini ditutup dengan perintah untuk bertakwa dan bertaubat. Allah SWT berfirman:
يا ايّها الذين أمنوااجْتَنِبُوا كَثيرًا من الظَّنِّ. إن بعضَ الظنِّ إثْمٌ ولا تجَسَّسُوا ولا يَغْتَبْ بعضُكم بعضًا. أيُحِبُّ احدُكم أن يأكُلَ لحْمَ أخِيه مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوه. واتّقوااللهَ إنّ اللهَ توّابٌ رحيم
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu sekalian yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Dalil naqli ayat al Qur’an di atas merupakan dalil kuat bahwa prasangka yang banyak mengandung dosa dan dilarang adalah prasangka buruk.
Prasangka buruk memang bukan sebuah tindakan dan aksi nyata, tetapi ia adalah penyakit hati yang bisa menggerakkan manusia berbuat sesuatu yang tercela. Karena itu, meskipun Negatif Thinking (su’udzon) merupakan prasangka di dalam hati, ia tetap dilarang karena banyak mengandung dosa.
Rasululllah SAW bahkan dalam sebuah hadits menyebutkan. bahwa prasangka (buruk) sebagai “ucapan” yang paling dusta. Beliau bersabda:
اِيّاكُم والظنَّ فاِن الظنَّ اَكْذَبُ الحَدِيث
“Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta.” (HR. Al-Bukhari)
Hadits di atas sangat penting untuk direnungkan dan dipahami karena penyakit hati berupa prasangka buruk merupakan maksiat yang samar dan terkadang diremehkan oleh manusia.
Bahwa Rasulullah SAW menyamakan prasangka buruk yang hanya berupa pikiran dan belum diucapkan itu dengan ucapan, bahkan ia disamakan dengan perkataan yang paling dusta.
Nabi Muhammad SAW menunjukkan betapa keji dan jahatnya prasangka buruk. Pernyataan Rasulullah ini menyejajarkan prasangka buruk sebagai ucapan atau perkataan yang paling dusta itu merupakan pelajaran penting dan penggambaran lugas serta mendalam.
Di era digitalisasi saat ini, mudahnya komunikasi menggunakan perangkat elektronik dan maraknya penggunaan media sosial, prasangka buruk menjadi kekejian yang mengerikan. Hati dan jiwa yang dipenuhi kebencian dan mengedepankan prasangka buruk kepada orang-orang yang tidak disukai seolah mendapatkan tempat dan rumah bersama yang bernama ‘Gadget’ atau Handphone yang lalu melahirkan caci maki, fitnah, dan hasutan bahkan sampai pada titik yang sangat mengkhawatirkan.
Kalau prasangka buruk saja merupakan dosa serius dan disamakan dengan ucapan yang paling dusta, begitu juga dengan caci maki, fitnah, hasutan, dan ujaran kebencian yang dihasilkan oleh prasangka buruk itu. Sehingga, masyarakat yang kini gandrung dengan gawai (HP dan seperangkatnya) sudah seharusnya sering merenung. Yaitu fitnah, tuduhan-tuduhan keji, hasutan, dan caci maki yang barangkali pernah diucapkan atau ditulis atau dinarasikan dalam video dan disebarkan di media-media sosial, maupun grup WhatsApp, Youtube dan lain sebagainya. Kira-kira berapa persen yang didasari oleh kebenaran pasti?
Buruk sangka bukanlah ciri orang beriman. Orang beriman itu lebih mendahulukan prasangka baik, kepada siapa pun, termasuk kepada Allah!
Imam Syafi’i bahkan pernah berwasiat kepada umat Islam, agar siapa pun yang ingin meninggal dunia dalam keadaan husnul khotimah maka hendaknya ia selalu berprasangka baik kepada manusia. Wallahu’alam bishowab