MEDIASI – Di tengah kesibukan perkuliahan, tugas, dan kegiatan organisasi, banyak mahasiswa yang mencari pelarian pada satu hal yang tampaknya sepele namun mengakar kuat yaitu scroll media sosial tanpa henti. Sekilas memang tampak sepele. Namun jika ditelusuri lebih dalam, kebiasaan ini sudah menjadi gejala darurat digital yang perlu diwaspadai.
Laporan dari We Are Social & Hootsuite (2023) mencatat rata-rata waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia di media sosial mencapai 3 jam 18 menit per hari, tertinggi ke-8 di dunia. Mahasiswa, sebagai generasi digital native, tentu termasuk dalam kelompok pengguna aktif yang paling rentan. Bahkan dalam studi Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), lebih dari 96% mahasiswa Indonesia mengakses media sosial setiap hari, yang didominasi oleh Instagram, TikTok, dan YouTube.
Kondisi ini sejalan dengan penelitian Siregar & Rahmadani (2021) dalam Jurnal Insight Psychology yang menemukan korelasi positif antara penggunaan media sosial yang berlebihan dengan gejala prokrastinasi akademik atau menunda-nunda kewajiban akademik dan penurunan kualitas tidur pada mahasiswa. Kemudian melalui University of Pennsylvania (2018) dalam penelitiannya membuktikan bahwa pembatasan penggunaan media sosial hingga 30 menit dalam sehari secara signifikan mampu mengurangi sebuah gejala depresi dan juga kesepian pada remaja dan dewasa yang dapat dikategorikan seorang mahasiswa.
Fakta ini membuktikan satu hal penting yakni media sosial bukan lagi hanya sekedar hiburan namun malah menjadi perangkap mental dan waktu. Dalam dunia akademis, kita menyebutnya doomscrolling, yakni kebiasaan terus menggulir layar meskipun konten tidak lagi memberikan nilai tambah, bahkan hingga mampu menguras emosi.
Fenomena ini diperparah oleh algoritma platform digital yang memang dirancang untuk menjaga perhatian agar terus menerus berada di platform tersebut. TikTok, misalnya, dengan sistem video pendeknya yang tidak berujung, menciptakan infinite loop yang membuat penggunanya kehilangan kendali atas waktu. Mahasiswa yang awalnya hanya ingin ‘istirahat sejenak’, tanpa sadar bisa kehilangan satu hingga dua jam produktivitas hanya karena terjebak dalam arus video viral yang tidak ada habisnya.
Lebih dari itu, krisis ini bukan hanya soal waktu, tetapi juga krisis makna. Mahasiswa yang dikatakan seseorang yang haus membaca dan berdiskusi namun di masa kini lebih akrab dengan tren TikTok atau konten yang hanya berisi sudut pandang yang dangkal yang kemudian menghilangkan pemikiran kritis yang seharusnya dimiliki oleh mahasawa. Refleksi diri yang seharusnya dilakukan oleh diri sendiri dengan cara berfikir kini menjadi tergantikan oleh pencarian validasi lewat like dan view pada unggahan yang ada di platform digital.
Apakah ini semata-mata kesalahan dari mahasiswa? Tidak. Dunia digital adalah ekosistem yang sengaja diciptakan untuk menarik perhatian seseorang. Namun, menjadi tanggung jawab kita bersama baik sebagai individu maupun lembaga pendidikan untuk menyadarinya dan kemudian menanggapinya secara kritis melalui dunia akademis.
Kampus perlu mulai berperan tidak hanya dalam pendidikan formal, tetapi juga dalam literasi digital. Mahasiswa juga harus mulai menempatkan media sosial sebagai sebuah alat yang bisa membantu dalam akademiknya, bukan sebagai ruang hidup utama mereka. Kita butuh istirahat, bukan sekedar log out kita butuh kontrol, bukan ketergantungan.
Jika tidak, kita mungkin akan terjebak pada doomscrolling dan lupa bahwa hidup itu tentang kenyataan atau realitas yang kita rasakan dan kita berikan bukan hanya menonton layar melihat sebagian kecil fenomena yang ada di platform digital.
Oleh : Syakira Fatra Mahabbatan (Mahasiwa UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan)