Komunikasi sebagai Persoalan Dialektis

Publika1822 Dilihat

MEDIASI – Komunikasi merupakan disiplin untuk bidang ilmu yang mengupas tentang bagaimana manusia terhubung dengan sesamanya atau seluruhnya.

Komunikasi bukan hanya cara supaya pesan dapat disampaikan, diterima, dan terproses dalam ruang dan waktu.

Lebih jauh dari itu, komunikasi diharapkan dapat menumbuhkan interaksi untuk membangun ketersalingan sosial, norma, kebudayaan, dan karakter.

Teman dekat dari komunikasi adalah bahasa, dan saudara kandungnya adalah makna yang berkaitan dengan berbagai aspek detail keragamannya.

Makna bisa meluas dan menyempit karena bahasa, tapi tidak seluruh makna dapat ditangkap bahasa. Makna bukan hanya ruang pengertian yang dapat ditempati akal manusia, karena sebenarnya bisa saja bertempat di luar ruang dan waktu yang menjadi batas manusia.

Al-Quran diturunkan dengan bahasa manusia dan ditelaah dengan seperangkat dialektika keilmuan, sehingga dikomunikasikan menjadi tafsiran. Akan tetapi, makna dari Al-Quran adalah bahasa Tuhan yang tidak bisa terperangkap dalam pemahaman dan asumsi manusia. Bahasa Tuhan, jauh melampaui kosmologi dan penafsiran bahasa manusia.

Barangkali, selama berjuta tahun lamanya manusia justru cenderung lebih banyak berkomunikasi menggunakan bahasa tanpa kata-kata yang bisa kita sebut isyara.

Bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan suara yang tak bisa dituturkan menjadi kosa kata merupakan alih fungsi dari komunikasi kata-kata. Bahasa-bahasa itu umumnya mempunyai makna sesuai dengan kesepakatan psiko-sosial di dalam masyarakat majemuk.

Manusia memahami sesamanya atau makhluk lainnya cenderung melalui ekspresi, gerak-gerik, suara, nada, intonasi, dan infleksi.

Kalau kita sakit gigi, tidak harus mengucap kalimat ‘gigi saya sakit’, karena bisa juga dengan ‘mengerang’ sambil memegang pipi yang ditempeli ‘salon pas’. Asalkan orang lain paham keadaan Anda, itu bisa dikatakan komunikasi yang relevan dengan keadaan.

Kalau Anda marah, bisa saja tidak menggunakan umpatan atau makian, karena Anda bisa menggunakan cara diam, wajah cemberut, atau banting-banting piring.

Asal pesan diterima dan mampu diolah oleh penerima, itulah komunikasi. Kalau kita memelihara kucing, ketika tidak dikasih makan selama satu hari pasti dia akan ‘ngeang-ngeong’ mengikuti kita, asal kita paham dia kelaparan, itulah yang dinamakan nalar berkomunikasi.

Jika kita melihat awan berwarna abu-abu dan suara gemuruh petir, bisa kita pahami bahwa itu tanda hujan akan datang, jadi mempersiapkan payung merupakan sebuah kewajaran. Asal kita dapat mengerti, tidak perlu bertanya kepada dengan kata-kata: langit, apakah kau akan hujan? Karena kita hanya perlu menerka pesan yang mendekati ciri-ciri sebuah kejadian.

Kalau kita lihat balih bergambar tersenyum meringis dengan kata romantis dipenuhi janji manis, maka cara membacanya harus dengan logika komunikasi politik tahunan. Kita akan memahami wacana dari beberapa indikator, semisal: sejarah, kebiasaan, dan fenomena.

Coba cermati, berapa banyak bahasa isyarat yang manusia gunakan sehari-hari? Tentu lebih banyak sekali kita membaca pesannya melalui ekspresi. Ekspresi itu bukan hanya wajah manusia dari mulai pertemuan, perkenalan, hubungan, percintaan, sampai perpisahan.

Di samping itu, manusia juga bisa membaca pesan pada makhluk lain, baliho, poster, karya sastra, dan lain sebagainya—yang bisa kita sepakati sebagai komunikasi fenomenologi. Asalkan kita tahu maksudnya, kita yakin itulah komunikasi.

Namun, komunikasi terbaik tetaplah berbicara dan bertemu, karena tidak ada pintu lain untuk menjalin validitas reaksi (mencintai atau membenci), kecuali dengan dua hal: ngobrol dan bertatap wajah. Teori ini hanya berlaku dalam komunikasi antropo-sentris, dan tidak berlaku untuk komunikasi teo-sentris. Kalau teori ini Anda gunakan pada aspek teo-sentris, tentu Anda lama-kelamaan akan sableng sendiri.

Banyak sekali kegagalan komunikasi dalam adat, budaya, politik, masyarakat, keluarga, dan lain sebagainya. Pertanyaannya; kenapa masih banyak kegagalan komunikasi sosial hingga tidak tersampaikannya maksud dan tujuan

Kegagalan itu karena kita tidak mampu, tidak mau, atau malas untuk memilah-milah frekuensi dalam komunikasi sosial. Salah satu contoh kegagalan, kebodohan, ke-ngawur-an atau dis-koneksi komunikasi, yaitu: menganjurkan untuk makan empat sehat lima sempurna kepada orang yang sudah kelaparan selama tiga hari. Contoh ini juga, kalau kita pahami, bukanlah makna sejatinya.

Oleh : Kang Ma’ruf (Menggerakkan Gusdurian Pemalang / IKA PMII Pemalang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *