Agamawan dan Ilham Transformatif

Publika1861 Dilihat

MEDIASI – Apakah pembangunan modern mampu menjadi alternatif manusia untuk melepaskan diri dari jerat ketidakadilan sosial?

Ruang reformasi yang diimpikan sebagai laboratorium untuk merumuskan wajah baru Indonesia, rupanya tidak sesuai angan-angan dan harapan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai yang mendasarinya itu kemudian terkubur lebih dahulu oleh modernisasi, pelaksanaan kehidupan bernegara, dan pertikaian elite politik.

Indonesia baru yang sepertinya hendak menyala, terpaksa redup sebelum—seperti jargon Tan Malaka—merdeka 100%. Indonesia yang mustinya berubah dan berbenah, nyatanya hanya mampu merubah presidennya saja. Akhirnya, apapun bentuk konflik dan problem (politik, ideologi, budaya, adat, dll) yang terjadi sampai hari ini, korban terbesar tetaplah masyarakat akar rumput.

Merubah keadaan adalah tradisi dalam intelektual kenabian, Islam, dan kemanusiaan. Pondasi itu harus membawa resolusi pemikiran yang dapat memulai langkah baru dalam ruang kemasyarakatan, di mana telah banyak terjadi disparitas sosial akibat pembangunan yang tersentralisasi pada teknologi, infrastruktur dan perebutan kekuasaan.

Oleh karenanya, perubahan bisa dikatakan bukan hanya tugas akademisi dan aktivis saja, atau semisal politikus. Merubah keadaan bisa dikatakan kerja-kerja kesadaran bagi semua manusia beragama, terutama (dalam Islam) agamawan yang merasa telah terkonfirmasi sebagai pewaris tradisi nabi-nabi.

Dengan kata lain, kehadiran agamawan yang mempunyai panggilan profetik, seharusnya dapat menjadi problem solver bagi disrupsi berkepanjangan. Tugas mereka bukan hanya menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada Tuhan, melainkan hadir sebagai penegak kebenaran, keadilan, meruntuhkan kezaliman, melawan penindasan, dan semua bentuk dominasi primordialisme eksentrik.

Jangan sampai agamawan hari ini menjadi miskin inovasi dan gerakan, karena terpaku dengan beberapa kalam suci yang membuat posisi mereka aman dari jangkauan civil society atau dari hukuman akhirat. Agamawan tidak hanya cukup berbaju literatur nan megah dengan hiasan artikulasi dan pengkultusan terhadap kemuliaannya. Mereka juga perlu memimpin pemberontakan terhadap fenomena dholuman jahula yang sudah terlanjur bertopeng pembangunan.

Mereka yang berpengetahuan—alim, sholeh, abid—tetapi tidak merawat kemanusiaan dan menegakkan kebenaran sosial, jelas tidak layak disebut agamawan. Terlebih jika mereka hadir di tengah kaum proletar hanya untuk memperkaya isi dapurnya dari iuran masyarakat, lebih tidak layak disebut penerus moral dan norma kenabian. Agamawan harus bergegas meninggalkan ruang privasinya, dan melebur dengan fakta-fakta krisis kemanusiaan.

Gagasan transformatif sebetulnya bukan berarti menggugat kredibilitas karakter Islam tradisional yang khusyuk, karena sasaran utama dari transformasi adalah mengurai akar-akar ajaran hegemonik yang berkecenderungan legal-sentrisme dan hanya berfokus pada ‘halal-haram’ atau ‘bid’ah-sunnah’. Kecenderungan itu membuat Islam seolah tidak mempunyai ruang dialektis-reflektif untuk menyelesaikan berbagai krisis kemanusiaan. Lagi-lagi, hal ini adalah derivasi yang mustinya dicermati agamawan.

Secara mendalam, gerakan transformasi ini bertujuan menyentuh wilayah wacana fundamental, cara berpikir, sudut pandang, dan kesadaran representatif dari pemeluknya. Ide dan gagasan transformasi bukan sebuah metode untuk merubah wilayah-wilayah keagamaan yang absolut, atau dinamika furu’iyyah. Tidak merubah Tuhan yang disembah. Tidak membuat Nabi baru. Tidak merubah keimanan.

Seharusnya, agamawan adalah manusia dengan strata tertinggi yang paling mempunyai kewaspadaan hidup. Sebab, barangkali semua sumber utama dari segala kerusakan dunia justru dikarenakan agamawan memiliki kehidupan mekanis, hedonis, dan imperialisme, yang membuat umat beragama semakin berserakan di savana dunia. Mungkin saja, ini terjadi karena agamawan hari ini telah menjelma menjadi simbol-simbol kultural oleh sebab pengkudusan.

Agamawan kita memang cerdas dalam soal agama. Mereka tahu betul bahwa jika ada kemungkaran, tidak sanggup mencegahnya dengan tangan atau lisan, dan hanya mampu mencegah dengan hati, maka itu tetap dikatakan iman meskipun dalam tataran paling lemah. Tentu, iman sebesar biji sawi, masih berpeluang masuk surga dengan rahmat Allah. Itu sebabnya agamawan kita sungguh sangat gemar menyibukkan diri dengan dirinya sendiri, tanpa keinginan menjadi tameng bagi masyarakat kelas bawah. ‘Fa wailul lilladzina yaktubunal kitab’. Celaka besar bagi para agamawan.

Memang, secara komprehensif Islam tidak menyediakan solusi detail mengenai penyelesaian problem manusia, namun secara universal nilai-nilai Islam sangat concern dengan segala persoalan-persoalan manusia, baik yang ada di dalam dirinya atau di luar dirinya. Dengan begitu, peran agamawan adalah merumuskan nilai-nilai yang otentik menjadi metode gerakan pembebasan yang shalihun li kulli zaman wa makan.

Di sinilah tugas agamawan untuk menggali secara aktual nilai-nilai dari kalam Tuhan dengan tafsir kontemporer, sehingga gerakan yang transformatif dapat hadir sebagai—minimal—obat pereda realitas problem kehidupan manusia millenial. Hal ini semata agar Islam menjadi paling relevan tumbuh diantara adat, budaya, norma, dan moralitas modern. Menjadi corak gerakan yang kritis terhadap segala pembahasan problematika dunia.

Karakteristik kritis dalam upaya menerapkan nilai-nilai Islam sebagai jalan berpikir dan bertindak transformatif, bukanlah gelanggang perang saudara yang perlu diperdebatkan sepanjang hidup, walaupun memang boleh diperdebatkan. Kritisisisme dengan watak Islam bertujuan untuk menemukan arah atas gugatan kita kepada hegemoni ideologi modern (neo-kapitalisne, neo-feodalisme, neo-imperialisme, neo-liberalisme, dsb).

Walaupun mungkin berpikir dan bertindak transformatif akan mudah sekali dibenturkan dengan nalar sufisme. Tapi, perlu diketahui bahwa sufisme juga hadir sebagai kritik sosial, bukan hadir karena pelarian dari tanggung jawab kemanusiaan. Manusia boleh mentolerir kesulitan hidup dengan nrimo ing pandum, tapi berdiam diri di dalam kerusakan adalah kezaliman.

Sesungguhnya ajaran Islam berusaha mendudukkan manusia terhadap harkat dan martabat kemanusiaan (ahsani taqwim), bukan menempatkan manusia di dalam martabat serendah-rendahnya (asfala safilin). Manusia yang aniaya dan yang teraniaya, keduanya berstatus sama: ‘orang yang perlu pertolongan’. Pertolongan pertama, dengan amar ma’ruf. Pertolongan kedua, dengan nahi munkar.

Apabila sudah jelas bahwa penyebab tidak terejawantahkan nilai-nilai Islam adalah sikap anti rasionalitas dan trend logika skolastik, maka cara terbaik untuk menanggulanginya yaitu dengan menempuh sikap transformatif dan rasionalitas kontekstual.

Pada hakikatnya, tidak ada keterbatasan perluasan nilai Islam sebagai dasar transformasi gerakan, sebab tidak ada satu-pun yang Islam tidak bisa memposisikan dirinya. Bahkan di semesta raya ini Islam akan tetap relevan (baina sama’ wal sumur bor). Baik di segala peradaban dan di semua tempat.

Oleh : Kang Ma’ruf (Aktivis PMII Pemalang / Penggerak Gusdurian Pemalang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *