MEDIASI – Di atas panggung Gedung Teater Bulungan, Jakarta Selatan, Ahad, 5 Oktober 2025, maestro pantomim Indonesia, Septian Dwi Cahyo, tampil bersama para juniornya. Kolaborasi unik mereka, adalah jembatan antar generasi, yang sekaligus menegaskan bahwa seniman pantomim terus bergeliat, berkarya.
Satu di antara generasi emas yang terlibat dalam pentas tersebut adalah, Asyam Akila Pratisara Nugroho. Siswa MTs al-Hamidiyah, Depok ini, sudah mengoleksi banyak prestasi di bidang pantomime di wilayah Jawa Barat. Ia bahkan pernah ditahbis menjadi delegasi dalam Festival Teater Anak Dunia di Toyama, Jepang, bersama Teater Tanah Air Indonesia.
Perhelatan ini dibuka secara resmi oleh Ibu Irini Dewi Wanti Direktur Bina SDM, Lembaga Pranata Kebudayaan, Dirjen Pengembangan, Pemanfaatan dan Pembinaan Kebudayaan, serta Ibu Kadis Pendidikan DKI Jakarta Ibu Nahdiana, S.Pd., M.Pd., dan dihadiri oleh Pemerhati Anak, Prof. Dr. Seto Mulyadi, M.Psi., M.Si.
Setelah penonton diajak bernostalgia dengan kehadiran Septian, panggung berubah gelap. Lamat-lamat cahaya fajar menyingsing. Tak ada kata, tak ada dialog. Hanya gerak kecil dari serombongan anak-anak yang sedang tertidur. Adegan sederhana itu pelan-pelan membentuk makna, yang ditawarkan kepada penonton.
Begitulah “Jejak Imaji Anak Negeri” dimulai—tanpa satu pun kata diucapkan, namun setiap tubuh berbicara. Pertunjukan pantomim yang digarap Komunitas MimeKids dan didukung oleh Blitz Production, Dinas kebudayaan DKI Jakarta, Kementerian Kebudayaan RI, Pertamina, dan para pendukung lainnya, jadi semacam perayaan akan kekuatan bahasa nonverbal: ekspresi yang jujur, lugu, sekaligus menggugah.
Lebih dari tiga puluh anak berusia sekolah dasar hingga remaja awal, tampil sebagai pemeran utama. Mereka bukan aktor profesional, bukan pula selebritas layar kaca. Tapi malam itu, di bawah arahan sutradara Amar Eres dan Joko Joker, serta dibimbing oleh pengarah produksi Herry W. Nugroho dan tim produksi Gus Adnan Cowi dan Yuanita, mereka menjelma menjadi cermin imajinasi anak-anak Indonesia, yang tumbuh di antara tawa dan ketidakpastian.
Panggung disulap menjadi taman bermain, lalu berubah jadi ruang kelas, kemudian menjadi ladang harapan. Semua transisi itu terjadi lewat video mapping, musik, dan tata cahaya yang saling berkejaran. Setiap adegan seperti lukisan hidup—bergerak dalam ritme yang menyentuh. Di sana, anak-anak belajar menghadapi dunia: tentang kehilangan, tentang keberanian, tentang arti kebersamaan yang sering luput dari hiruk-pikuk digitalisasi media.
Di tengah zaman ketika jari lebih sering menari di layar gawai daripada di atas taman bermain, pertunjukan ini terasa seperti napas segar. Ia mengingatkan kita bahwa sebelum ada emoji dan notifikasi, manusia pernah berkomunikasi dengan cara paling purba: lewat tubuh, tatapan, dan diam yang sarat makna.
“Anak-anak hari ini tumbuh di dunia yang terlalu ramai di gawainya, tapi sepi dalam kenyataannya,” kata Amar Eres, sang sutradara, ketika ditemui usai pementasan. “Lewat pantomim, kami ingin mengembalikan ruang sunyi tempat imajinasi anak-anak bisa berlari,” tegas Herry.
MimeKids, komunitas yang dirintis Herry bersama sejumlah seniman pantomim senior Indonesia, memang lahir dari keprihatinan akan hilangnya bentuk-bentuk permainan yang mendorong empati dan kreativitas. Mereka percaya, anak-anak bukan sekadar penonton, tapi penjelajah dunia yang butuh ruang untuk menghidupkan ide dan rasanya.
Pertunjukan “Jejak Imaji Anak Negeri” bukan hanya upaya mengenalkan seni pantomim kepada generasi muda. Lebih dari itu, ia adalah ajakan untuk menyadari kembali bahwa setiap anak memiliki cara sendiri untuk bercerita—bahkan tanpa suara, tapi tetap menggetarkan jiwa.
Dalam diam panggung itulah, penonton diajak menyelami bahasa hati: bahasa yang tak butuh terjemahan kata-kata.
Ketika adegan terakhir memungkasi pementasan, satu hal terasa jelas—di dunia kita yang kian bising oleh kata-kata, mungkin hanya gerak polos tubuh anak-anak yang masih mampu menjaga kesunyian agar tetap berarti.
Herry berharap, “ke depan, semakin banyak dukungan dari pihak luar untuk acara seperti ini,” ujarnya. [RA]