MEDIASI – Jalaludin Rumi, dalam Matsnawi, bersenandung tentang Muhammad :
ada seratus buku syair
Semuanya jadi malu
Di hadapan sang buta huruf
Ya, Muhammad lahir tidak dari kalangan terpelajar suku Quraisy yang gemar beradu tangkas mencipta puisi atau beradu mahir argumen. Muhammad, meskipun berasal dari keluarga terhormat, tidak sempat mencicipi budaya dan tradisi literasi. Ia buta huruf dalam pengertian otentik. Tidak bisa mengeja abjad dan menyusun kalimat dalam teks tertulis.
Namun, meskipun Muhammad buta literasi, ia tidak buta nurani. Hatinya gelisah, pikirannya bergemuruh saat melihat, mendengar, dan merasakan betapa ketidak-adilan menjadi raja. Mereka yang kaya mabuk kemewahan, sementara yang papa dirundung penindasan. Muhammad muda begitu nestapa melihat masyarakat tanpa etika.
Pun, laki-laki buta huruf yang berhati lembut itu hanya bisa mengasingkan diri, ke Bukit Hira’, yang ada lorong gua kecil di sana. Ketika matahari jatuh hati pada senja, Muhammad menapaki jalan kerikil menuju Gua itu, melakukan tapa-brata, menelisik sangkan paran kehidupan.
Dan, sejarah mencatat bahwa paska melakukan tapa-brata di dalam Gua Hira’ itu, Muhammad menjadi motor utama gerakan paling revolusioner umat manusia. Ia menjadi episentrum perdebatan para sarjana yang mahir literasi.
Di Barat, Ia dikutuk seperti bandit. Dante Alghieri, melalui magnum opus “Komedi Ketuhanan” meletakkan Muhammad di dalam neraka, setara dengan Judas Iscariot dan Brutus. Tetapi, di Timur, Muhammad dipuja setinggi langit. Mahatma Gandhi menyebutnya sebagai guru umat manusia, setara dengan Kristus dan Gautama.
Di titik ini, Muhammad adalah penanda bahwa untuk menjadi manusia revolusioner tidak harus membaca ribuan buku, tidak harus “melek” literasi. Manusia revolusioner hanya membutuhkan “melek” nurani.
Di Gua Hira’, Muhammad menemukan “the real I”, dirinya sejati, yang dengan penemuan itu, ia mempunyai energi menggerakkan perubahan, menjemput harapan baru. Muhammad adalah contoh paling otentik tentang gagasan “satrio piningit” dalam tradisi orang Jawa, yang menjadi ratu adil untuk peradaban manusia.
Muhammad, satrio piningit, dididik dalam tapa-brata di Gua Hira’. Ia bukan alumnus kampus atau komunitas akademia ala Plato.
Pada akhirnya, revolusi Agung digerakkan oleh manusia buta huruf yang melek nurani, bukan manusia buta nurani yang melek literasi. Muhammad adalah manusia yang “tahu diri’, bukan manusia yang tahu banyak buku.
Dan, sekali lagi, Jalaludin Rumi bertutur :”Aku hanyalah debu di jalan yang dilewati Muhammad, yang terpilih.”. Pendek kata, Muhammad sejatinya lahir setiap saat, setiap waktu. Ia tiada pernah mati.
Muhammad, kepadamu aku bersimpuh.
Olih : Haris el Mahdi (Penggerak GUSDURian Batu)