Shalahuddin Al Ayubi, Panglima Islam Keturunan Kurdi Penakluk Jerusalem

Khazanah276 Dilihat

MEDIASI – Panglima Islam Shalahuddin Al Ayubi berasal keluarga kurdi yang mempunyai nasab dan kedudukan mulia. Keluarga ini berhasil menguasai Mesir dan Syria. Dalam sejarah, pemerintahan mereka dikenal dengan Daulah Ayyubiyah. Keluarga ini merupakan anggota suku kurdi. Mereka bahkan merupakan keluarga kurdi yang paling mulia nasabnya. Suku kurdi dikenal juga dengan sebutan Rawadiyah³ dari marga Hazian. Marga ini merupakan marga terbesar dalam suku kurdi.

Ada berapa sejarawan yang melakukan penelitian untuk menghubungkan keluarga Shalahuddin dalam silsilah leluhur mereka yang berakhir pada Mudhar. Mudhar sendiri adalah anak keturunan Adnan. Di balik penelitian yang tidak sesuai dengan metode penelitian ilmiah maupun fakta sebenarnya ini, mereka ingin menghubungkan setiap tokoh besar non-Arab dengan silsilah nasab Arab. Seakan-akan semua kebaikan dan kemuliaan hanya dimiliki oleh orang Arab. Seakan-akan seorang Muslim non-Arab—menurut pendapat mereka dangkal—mustahil bisa meraih kemuliaan, membangun peradaban, atau mengabadikan kenangan gemilang.

Apabila kita mengkaji sejarah dan meneliti para tokoh kita yang telah membangun peradaban manusia, niscaya kita temukan bahwa mereka yang mempunyai andil dalam membangun peradaban, senantiasa dikenakan dalam sejarah, dan selalu dihormati dari generasi ke generasi sebagian besar adalah orang-orang muslim non-Arab. Lantas, mengapa harus bersikap fanatik buta seperti ini? Mengapa harus mempertahankan rasisme yang menjijikan ini? Prinsip Islam tidak akan berubah, ALLAH SWT.

Nasab Shalahuddin Al Ayubi

Dari keluarga yang bernasab mulia ini lahirlah Sultan Shalahuddin Yusuf bin Ayyub pada 532 H bertepatan dengan 1137 M

Tempat kelahirannya adalah di benteng Tikri Tikrit adalah kota kuno yang lebih dekat ke Baghdad daripada k Mosul. Di bagian atas kora ito berdiri sebuah benteng kokon di atas baru besar. Mereka menjadikan benteng itu sebagai melintasi sungai Tigria Raja-raja kuno Persia membangunnya pengintaian untuk mengawasi musuh Kemudian kaum Muslim berhasil menaklukkannya pada 16 H, yaitu pada saat pemerintahan Umar bin Khathab

Tikrit terus berada di bawah kekuasaan negeri-negeri muslim hingga berada di bawah pemerintahan Daulah Saljuk. Ayyub bin Syadzi, ayah Shalahuddin, mempunyai hubungan dengan salah seorang pejabat keamanan pemerintah Saljuk di Baghdad. Namanya adalah Mujahiduddin Bahruz. Dia mengangkat Ayyub sebagai komandan benteng Tikrit. Dia juga mengangkat saudara Ayyub, Asaduddin Syirkuh, sebagai pembantunya. Keduanya pun menjadi penguasa Tikrit Kedua orang bersaudara ini datang ke Irak dari sebuah desa yang berada di perbatasan Azerbaijan Desa itu bernama Dawin

yang terletak di pinggiran daerah Aran. Keduanya berasal dari suku Kurdi Rawadiyah, lalu berdomisili di Tikrit dan bekerja sebagai aparat keamanan Bahruz.

Suatu hal yang menakjubkan adalah Shalahuddin lahir ketika Mujahiduddin Bahruz, penguasa Baghdad, memerintah-kan Najmuddin dan saudaranya, Syirkuh, untuk meninggalkan kota Tikrit. Hal itu karena Syirkuh, paman Shalahuddin, membunuh salah seorang penjaga benteng. Kasus ini terjadi karena seorang wanita diganggu kehormatannya oleh penjaga itu. Wanita tadi meminta bantuan Syirkuh. Syirkuh menuntut balas atas kehormatan dan harga diri si wanita. Syirkuh lalu membunuh penjaga itu. Akan tetapi, Bahruz bingung; apakah dia tetap membiarkan mereka berdua berada di sisinya ataukah memerintahkan keduanya untuk pergi. Apabila tetap membiarkan keduanya, dia takut kalau para penjaga lain membalas dan menyakiti mereka. Dia tidak mendapatkan solusi kecuali memerintahkan keduanya untuk segera pergi. Dia menemui Najmuddin dan Syirkuh dengan mengekspresikan kekhawatirannya atas keselamatan mereka. Dia meminta dua orang itu agar meninggalkan Tikrit pada malam itu juga. Akhirnya, kedua orang itu pergi menuju Mosul dengan membawa keluarga mereka. Dalam perjalanan Najmuddin ini, ikut pula putranya yang baru saja terlahir, yaitu Yusuf yang dikenal sebagai Shalahuddin.

Pengarang kitab Wafayat Al-A’yan, Ibnu Khalikan, menceritakan bahwa Ayyub merasa mendapat sial dengan kelahiran putranya, Shalahuddin. Ayyub ingin membunuh putranya yang masih kecil itu ketika dia menangis keras pada saat mereka meninggalkan kota Tikrit. Akan tetapi, salah seorang pengikutnya memperingatkannya dari perbuatan buruk ini. Orang itu berkata, “Wahai tuanku! Saya melihat bahwa Anda merasa mendapat sial karena anak kecil ini. Dosa apakah yang dia miliki? Apa hak Anda membunuhnya, padahal dia tidak bisa memberi manfaat maupun mudharat? Ketahuilah bahwa apa yang menimpa Anda ini adalah ketetapan dari Allah Kemudian, tahukah Anda bahwa mungkin anak ini akan menjadi raja yang terkenal dan barangkali Allah akan memberinya kedudukan yang mulia? Jangan bunuh dia, sebab dia hanyalah anak kecil yang tidak punya dosa dan tidak tahu kesusahan dan kesedihan Anda.”

Kata-kata ini mampu meninggalkan pengaruh di hati Ayyub. Dia segera kembali pada kebenaran dan mengikuti jalan Islam yang lurus.

Oleh : Rafif (Santri Pondok Pesantren Babussalam Nurul Iman)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *