Para Politisi Milenial Harus Belajar Kepada Adam Malik

Opini837 Dilihat

MEDIASI – Politik dengan dasar ikatan perkoncoan yang mengukur dan menilai haluan politik dan ideologi seseorang berdasarkan kedekatan dengan patron seniornya atau lingkungan pertemanannya itu tidak bagus.

Selain kerap salah dalam menilai haluan politik dan ideologi seseorang. Juga berakibat ekslusifnya pengelompokkan politik.

Yang namanya gerakan politik itu selain solid kompak dan terorganisir secara internal. Keluar pun harus mengembangkan dan memperluas jaringan relasi dan perkawanan yang seide dan sevisi di luar kantong2 kelompoknya sendiri. L

Nah yang kulihat selama ini. Politik koncoisme dalam pergerakan maupun organ politik orang orangnya kok itu itu aja. Nggak ada perluasan dan pengembangan jaringan relasi dan perkawanan seide dan sevisi.

Akibatnya gerakan politik maupun organ politik mengalami stagnasi dan kemacetan. Sebab apa? Nah ini saya jadi ingat wejangan guru ngaji saya alm Mochtar Hussein. “Jangan cuma berkawan dengan yang itu itu aja mas hendrajit. Itu nasib. Mencari dan menambah kawa kawan baru Insya Allah itu takdir. “

Ya benar. Saya jadi ingat alm Adam Malik. Sewaktu masa penjajahan Belanda bung Adam yang masih berumur 17 tahun mendirikan partai Indonesia Partindo di pematang siantar sumatra utara . Partindo adalah pecahan PNI gegara bung karno dan bung hatta beda strategi politik. Sehingga bung Karno bikin Partindo dan bung Hatta bikin PNI BARU.

Dari cerita sekilas ini aja jelas garis politik dan ideologinya bung Adam Malik itu nasionalis mahzab bung Karno. Tapi kenapa kemudian sejarah mencap bung adam kadernya Tan Malaka dan Murba? Apa memang seperti itu kenyataannya?

Kalau cara pandangnya melihat politik sebatas perkoncoan mungkin jawabannya iya. Adam Malik itu murba plus kadernya Tan Malaka. Tapi itu penilaian politik yang dangkal.

Iman perjuangan Adam Malik adalah tetap nasionalisme mahzab Sukarno. Kenapa orang menilai adam itu kader Tan dan murba? Di sinilah menarik dan uniknya kepribadian bung adam. Memperluas pertemanan dan pergaulan adalah penting untuk memperkuat pengaruh ideologis dan gerakan politiknya. Bukannya larut dalam politik koncoisme dan politik pergaulan yang ekslusif.

Sewaktu hijrah ke Jakarta dari pematang siantar. Adam numpang di rumah Yahya Nasution yang merupakan pamannya. Yahya Nasution yang pengusaha lumayan kaya di Betawi ini merupakan mata rantai dari gerakan politik bawah tanah Tan Malaka yang waktu itu sedang menjalani masa pengasingandi luar negeri karena dianggap pemberontak.

Nah Adam sama pamannya dikenalkan ke beberapa kawan kawannya yahya nasution yang kelak ketika Tan kembali ke Indonesia merupakan motor penggerak revolusi Proklamasi 17 Agustus 1945 sekaligus perintis berdirinya partai Murba.

Adam secara perkawanan sangat nyaman dan chemistry nya dapat dengan kader kader Tan ini. Yang menurur Adam watak nasionalis radikal teman teman pamannya itu cocok dengan jiwa dan DNA politiknya adam yang penuh gairah dan berani ambil resiko.

Garis ideologis Adam yang sejatinya nasiobalis bermahzab sukarno yang bersenyawa dengan lingkaran perkawanan Tan Malaka dan Murba. Menyebabkan sosok Adam jadi politisi muda yang unik pada zamannya. Baik semasa perjuangan kemerdekaan maupun sesudah Indonesia merdeka, Adam merupakan pribadi yang unik dalam kancah politik di tanah air.

Pada saat Indonesia merdeka harus milih dua opsi: melancarkan perjuangan bersenjata atau berunding dengan Belanda, adam lebih memilih berada di barisan Tan Malaka yang lebih milih perlawanan bersenjata. Atau kalaupun berunding, harus atas dasar merdeka 100 persen.

Sikap adam dan kubu Tan yang melawan kebijakan Sjahrir untuk berunding, secara diam2 menjadi jejaring pengaman sukarno-hatta untuk mengerem duet sjahrir-amir supaya tidak kebablasan. Apalagi jendral Sudirman pun satu sikap dan haluan politik mendukung konsep indonesia merdeka100 persen.

Menariknya di sini. Adam yang sejatinya nggak sreg dengan suasana pergaulan sosial di Partindo nya bung karno oleh sebab wataknya yang konservatif dan priayi, sehingga lebih nyaman dalam pergaulan sosial di kubu Tan Malaka, namun justru lewat Adam lah gerbong pni dan murba dipersatukan sejak 1945 hingga 1965. Sehingga dalam menyikapi isu2 kebangsaan yang strategis, pni dan murba bersatu sikap dan pandangan.

Tak heran kalau bung karno sayang banget sama adam. Terbukti ketika peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto pada 1967., Adam termasuk tiga serangkai aktor kunci peralihan kekuasaan. Pak Harto. Sri Sultan HB IX dan Adam Malik.

Kalau tidak membaca kiprah Adam di masa lalu. Bisa bisa kita menyangka sudah jadi oportunis. Tadinya dekat Sukarno kok kemudian merapat ke Suharto. Padahal kalau jeli Adam justru bergabung dalam tiga serangkai sebagai kader ideologis nasionalisme mahzab sukarno. Misinya membangun kesinambungan era Sukarno ke era Suharto

Coba bayangkan. Kalau Adam sebagai kader Partindo cuma gaul sama orang orang Partindo atau PNI sehingga pertemanan dan jaringan relasinya itu itu aja. Mungkin Adam nasibnya cuma politisi PNI kelas cabang atau tingkat provinsi. Atau jadi politisi PDIP pergaulan kayak zaman sekarang.

Ungkapan guru ngaji saya ustad Husdein tadi akhirnya menemukan kebenarannya dalam riwayat perjuangan politik Adam Malik. Bertahan dengan teman teman lama itu nasib. Menemukan teman baru itu takdir.

Oleh : Dr. Hendrajit

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *