Gaya Hidup Konsumtif Mahasiswa: Refleksi atau Tren Sesaat?

Publika794 Dilihat

MEDIASI – Mahasiswa sering kali dianggap sebagai agen perubahan yang berperan penting dalam membangun masyarakat. Namun, fenomena gaya hidup konsumtif yang kian marak di kalangan mahasiswa memunculkan pertanyaan: Apakah ini cerminan kebutuhan nyata, atau sekadar tren sesaat yang dipengaruhi oleh tekanan sosial dan media?

Dalam era digital, gaya hidup konsumtif tidak dapat dipisahkan dari pengaruh media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter kerap mempromosikan standar hidup yang “ideal” melalui konten-konten pamer barang mewah, perjalanan wisata, hingga kuliner premium. Mahasiswa, sebagai pengguna aktif media sosial, menjadi audiens sekaligus pelaku yang ingin meniru gaya hidup tersebut.

Hal ini memunculkan budaya FOMO (Fear of Missing Out) ketakutan ketinggalan tren yang mendorong mahasiswa untuk membeli barang atau layanan yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan. Contohnya, membeli pakaian bermerek untuk OOTD (Outfit of the Day), mengikuti tren makanan viral, atau memiliki gadget terbaru hanya demi validasi sosial.

Di sisi lain, gaya hidup konsumtif mahasiswa juga bisa menjadi refleksi dari kebutuhan aktual. Mahasiswa zaman sekarang menghadapi tuntutan akademik dan sosial yang lebih tinggi, termasuk kebutuhan akan teknologi pendukung seperti laptop dan smartphone canggih, serta investasi dalam pengembangan diri melalui pelatihan atau sertifikasi online.

Namun, yang perlu dicermati adalah apakah keputusan konsumtif tersebut didasari oleh kebutuhan produktif atau sekadar dorongan emosional untuk mengikuti tren. Ketika kebutuhan berubah menjadi ajang kompetisi sosial, mahasiswa justru terjebak dalam siklus konsumtif yang tidak sehat.

Tekanan dari lingkungan pertemanan menjadi salah satu faktor utama. Mahasiswa sering kali merasa harus “menyamai” standar teman-temannya, sehingga rela mengorbankan uang saku atau bahkan berutang untuk memenuhi gaya hidup tertentu. Selain itu, gaya hidup konsumtif sering kali berbenturan dengan realitas ekonomi. Banyak mahasiswa yang mengandalkan kiriman orang tua, namun memaksakan diri untuk hidup mewah tanpa perencanaan keuangan yang matang.

Solusi untuk Mengatasi Gaya Hidup Konsumtif
Gaya hidup konsumtif mahasiswa dapat menjadi tren sesaat yang akan memudar seiring perubahan zaman, tetapi juga bisa menjadi kebiasaan yang melekat jika tidak segera disikapi. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil:

  1. Edukasi Keuangan
    Mahasiswa perlu dibekali literasi keuangan agar mampu mengatur pengeluaran dan membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Pelatihan sederhana tentang pengelolaan anggaran, menabung, dan investasi dapat memberikan dampak besar.
  2. Kesadaran Sosial
    Penting bagi mahasiswa untuk menjadikan gaya hidup konsumtif sebagai pelajaran untuk lebih menghargai nilai dan fungsi barang daripada sekadar simbol status sosial. Kampanye kesadaran melalui komunitas mahasiswa dapat membantu mengurangi tekanan sosial.
  3. Pola Hidup Minimalis
    Mengadopsi gaya hidup minimalis dapat membantu mahasiswa fokus pada kebutuhan esensial dan mengurangi tekanan sosial. Pola ini juga mendukung keberlanjutan lingkungan dengan mengurangi konsumsi berlebihan.

Akhirnya, gaya hidup konsumtif bisa menjadi refleksi dari perubahan zaman atau hanya tren sesaat yang tidak berakar kuat. Yang terpenting adalah bagaimana mahasiswa mampu mengontrol diri dan menjadikan konsumsi sebagai alat untuk mendukung tujuan, bukan sekadar memenuhi hasrat. Dengan kesadaran yang tepat, mahasiswa dapat menjadi individu yang lebih bijak dalam mengelola gaya hidup dan menjadi panutan positif bagi masyarakat.

Oleh : Najwa Aisha Mohandiz (Mahasiswa UIN KH Abdurrahman Wahid)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *