MEDIASI – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengungkapkan pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki sejarah yang panjang dan berawal dari konstruksi peradaban kuno Nusantara.
Karena itu, Gus Yahya menyampaikan bahwa studi sosial-politik sangat relevan untuk terus dilakukan dalam upaya memahami dinamika pesantren di Indonesia.
Hal ini disampaikan Gus Yahya saat menjadi Keynote Speaker pada acara Simposium Pesantren 2024 bertajuk Strategi Penguatan Pesantren sebagai Pilar Masa Depan di Auditorium Mandiri Lantai 4 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), Selasa (8/10).
Gus Yahya menyebutkan salah satu tonggak utama perkembangan tersebut adalah masa kejayaan Sriwijaya, sebuah imperium maritim yang mengendalikan perdagangan di Asia Tenggara selama tujuh abad.
Gus Yahya mengungkapkan struktur sosial politik federatif yang ada pada era Sriwijaya, memungkinkan terbentuknya komunitas-komunitas independen di pedalaman, termasuk di Jawa. Ia menjelaskan bahwa jauh sebelum masa Islam, telah ada pemimpin-pemimpin komunitas independen yang disebut Ki Ageng, yang mendapatkan legitimasi di lingkungan masing-masing. Konstruksi sosial budaya masyarakat komunal Nusantara tersebut kemudian membentuk pesantren sebagai tempat yang menyerap para pendakwah Islam dan menjadi pusat kepemimpinan komunitas lokal.
Lebih jauh Gus Yahya menyebutkan, dari perjalanan panjang sejarahnya ini, pesantren berkembang menjadi lingkaran studi akademik tentang agama, dengan fokus pada aktivisme spiritualitas yang sangat kuat. Selain itu, Gus Yahya juga menyoroti peran penting hubungan antara Nusantara dan Timur Tengah dalam memperkuat aspek akademis di pesantren. Menurutnya, peningkatan hubungan tersebut memungkinkan pesantren di Indonesia menyerap wawasan keilmuan dari para ulama di Timur Tengah. Salah satu tokoh penting dalam sejarah Nusantara yang tercatat adalah Syekh Nawawi Al-Bantani yang mengembangkan pengajaran kitab-kitab keislaman yang lebih akademis.
“Karena itu, Studi sosial-politik sangat relevan untuk memahami dinamika pesantren. Akademisi di Fisipol (UGM), jika mau mengulik masalah terkait pesantren, bisa jadi banyak artikel untuk jurnal-jurnal. Ada banyak sekali bahan yang bisa dikaji,” kata Gus Yahya seperti dilansir dari laman NU Online.
“Mulai diajarkan kitab-kitab dalam berbagai bidang ilmu apakah ilmu fiqih, nahwu shorof, dan ini terus berkembang menjadi ciri khas pesantren,” lanjutnya.
Gus Yahya juga menekankan pentingnya terus mengembangkan diskusi akademis dan sosial terkait pesantren untuk meningkatkan kemaslahatan, tidak hanya bagi pesantren, tetapi juga bagi bangsa dan negara.
“Mudah-mudahan ini akan terus berkembang dan menjadi dinamika yang lebih baik, membawa lebih banyak kemaslahatan, bukan hanya untuk pesantren-pesantren, tetapi juga untuk Indonesia secara keseluruhan,” tutup Gus Yahya.
Sebagai informasi, Simposium Pesantren 2024 merupakan kerja sama antara Kementerian Agama RI, PBNU, dan Fisipol UGM. Acara ini dihadiri oleh sejumlah tokoh dan delegasi dari berbagai pondok pesantren.