MEDIASI – Maulana Habib Luthfi bin Yahya dikenal sebagai ulama yang kharismatik. Selain dikenal sebagai Rais ‘Am Jam’iyyah Ahlu Thariqoh Al Mu’tabaroj an Nahdliyyah (JATMAN), beliau saat ini juga mengemban amanat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI.
Habib Luthfi juga dikenal sebagai durriyah Rasulullah yang berpandangan moderat dan alim alamah. Beliau disegani para ulama Indonesia dan mancanegara. Keulamaannya sudah diakui dunia, dengan dibuktikan seringnya beliau didatangi ulama-ulama luar negeri.
Namun demikian, Habib Luthfi juga merupakan pribadi yang tawadhu’ yang selalu haus ilmu dan berkah. Sehingga beliau pun kerap kali juga mendatangi banyak ulama untuk “meguru” memperoleh ilmu dan berkah dari mereka.
Karena itu, diketahui beliau masih kerap berguru dan bertabaruk kepada ulama-ulama lain. Tingginya kepribadian beliau tidak lepas dari peran para guru-gurunya. Lantas siapa saja guru-guru Habib Luthfi bin Yahya?
Habib Luthfi dikenal memiliki guru-guru yang Waskito, sebagian besar bahkan dikenal sebagai Waliyullah. Dari sekian banyak guru Habib Luthfi, di wilayah Pemalang setidaknya ada 3 ulama yang dikenal sebagai gurunya Habib Luthfi yakni; Mbah KH Dimyati Kedawung (Comal), Mbah KH Sholeh Al Madyani Kebagusan (Ampelgading), dan Mbah KH Nur Surya Walangsanga (Moga).
Mbah KH Dimyati Comal
Mbah Dim Kedawung, begitu nama akrab yang melekat pada sebutan Mbah KH Dimyati. Beliau merupakan putra KH Natsir, ulama masyhur dan gurunya para kiai serta pejuang di Pemalang, termasuk juga salah satu gurunya Habib Luthfi.
Mbah Dim di makamkan di Komplek Roudlatut Tholibin Dusun Kedawung Desa Sidorejo Kecamatan Comal Kabupaten Pemalang, letaknya persis di jalan nasional jalan raya Pantura Semarang – Jakarta.
Mbah Dimyati dikenal sebagai ‘Waliyullah’ ahli silaturahim dan mempunyai hubungan dekat dengan para ulama dan habaib di nusantara, salah satu dengan Habib Ali bin Hasyim bin Yahya (Ayah Habib Lutfi bin Yahya Pekalongan) dan Habib Sholeh Tanggul (Jember).
Bahkan kedua Habaib tersebut sangat menaruh hormat pada Mbah Dim. Saking begitu hormatnya, seperti diceritakan Habib Lutfi bin Yahya, Habib Sholeh Tanggul pun kalau melewati daerah makam Mbah Dim Kedawung, berkata kepada sopirnya, “Pelan-pelan”, sebagai bentuk ta’dhiman pada Mbah Dim.
Menurut Habib Lutfi bin yahya Pekalongan Mbah Dimyati Kedawung terkenal alim allamah dalam hafalan Qur’annya. Padahal, menurut Habib Lutfi, ulama yang lebih alim dari Mbah Dimyati di wilayah kitaran Pekalongan sebenarnya lebih banyak, namun demikian pintu kekeramatannya seakan hanya dibuka dan dituangkan pada Mbah Dim.
Saking keramatnya Mbah Dimyati bumi pun seolah tunduk padanya. Ini terjadi ketika beliau wafat dan akan dikuburkan. Seperti yang diceritakan Habib Lutfi, menjelang seminggu sebelum wafatnya Mbah Dim, beliau telah memberikan isyarah pada Habib Lutfi pada dirinya akan meninggal seminggu kemudian.
Wasiat yang disampaikan pada Habib Lutfi ketika meninggalnya Mbah Dim, beliau meminta jenazahnya diiringi terbangan (pembacaan syair Shalawat Nabi) secara besar-besaran. Disini, ketika hari wafatnya Mbah Dim, kekeramatan beliau tampak lagi.
Waktu meninggalnya Mbah Dimyati pada tahun 1964, saat itu sedang terjadi kemarau panjang. Hampir setahunan tidak turun hujan serta kondisi tanah keras dan kering, ajaibnya ketika tukang gali kubur baru mengayunkan cangkul, tiba-tiba menyembur air deras sehingga tanah menjadi gembur dan mudah digali.
Mbah KH Sholeh Al Madyani Ampelgading
Mbah Sholeh Al Madyani dipercaya para ulama dan masyarakat sebagai salah satu Waliyullah yang mempunyai banyak karomah dan disebutkan sebagai salah satu gurunya Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan.
Beliau dipercaya sebagai ulama yang berasal dari ‘Madyan’ yang berada di wilayah jazirah Arab. Kota ini dulu dikenal sebagai kotanya Nabi Syuaib Alaihi Salam dan kaumnya berada.
Mbah Sholeh Al Madyani tidak hanya dikenal di wilayah Pemalang saja. Pada masa hidupnya justru beliau masyhur dan lebih banyak dikenal di wilayah Pekalongan hingga Demak, bahkan sebagian nusantara pernah dijelajahinya.
Mbah Sholeh juga dikenal sebagai ulama yang rajin bersilaturahim ke berbagai ulama lainnya serta berbagai golongan masyarakat. Hampir kiai-kiai terkenal di wilayah Pekalongan dan sekitarnya disebutkan pernah didatangi dan tabarrukan dengan Mbah Sholeh. Masa hidupnya memang dikenal lebih banyak dihabiskan mengembara dakwah ke berbagai daerah di nusantara.
Selain ahli silaturahim, Mbah Sholeh juga seorang ulama yang sangat Wira’i (bersikap dan berlaku hati-hati terhadap hal-hal yang makruh dan hal-hal yang syubhat). Kewira’ian beliau banyak diceritakan para ulama yang menyaksikan perilaku hidupnya.
Mbah Sholeh Al Madyani dipercaya sebagai waliyullah pimpinan Wali Abdal. Kata “abdāl” adalah bentuk jamak dari kata “badal” atau pengganti. Syekh Ihsan Jampes dalam Kitab Sirajut Thalibin ala Minhajil Abidin mengatakan, abdal adalah sekelompok wali Allah. Mereka adalah pengganti para nabi. Mereka berjumlah tujuh orang, tidak lebih dan tidak kurang sebagaimana pendapat Abul Baqa’. Wali Abdal adalah Wali Paku Bumi.
Usia Mbah Sholeh diperkirakan hingga berumur 325 tahun dan wafat pada hari Jum’at Kliwon Robius Tsani tahun 1977 Masehi. Beliau dikebumikan di Makbaroh Desa Kebagusan Ampelgading, Pemalang.
Saat Mbah Sholeh wafat, pengurusan pemakaman jenazahnya ditangani langsung oleh murid beliau yakni Maulana Habib Luthfin bin Ali bin Hasyim bin Yahya.
Mbah KH Nur Durya Moga
Mbah Nur Walangsanga merupakan sosok ulama yang sederhana. Dikenal dengan nama lengkap Mbah Nur Durya Bin Sayyid.
Mbah Nur hingga wafatnya pada 17 Desember 1988 M atau 9 Jummadil Awwal 1409 H menetap dan dimakamkan di Desa Walangsanga Kecamatan Moga, Pemalang. Beliau dikebumikan di rumah uzlahnya yang tepat berada di tepi sungai Paingan.
Habib Luthfi sendiri pernah menceritakan bahwa Mbah Nur merupakam salah satu dari guru spiritualnya.
Tempat tinggal dan makam Mbah Nur berada di tempat sunyi dan jauh dari keramaian, yaitu di pinggir sungai yang berada di tengah-tengah area persawahan.
Beliau memilih uzlah atau mengasingkan diri saat hidupnya demi bisa mendekatkan diri pada Allah SWT tepat di lereng bukit Gunung Sembung tersebut.
Dalam berdakwah di Desa Walangsanga, Mbah Nur giat mengajak para warganya untuk berdzikir taqorrub-an ilaa Allah dan selalu mengagung asma-Nya.
Mbah Nur juga dikenal sebagai pribadi yang kuat menjaga wudhunya. Beliau pun rela tidak tidur sepanjang malam untuk bermunajat kepada Allah SWT dan mendoakan orang-orang yang datang minta suwuk-doa padanya dan masyarakat serta bangsanya.
Selain itu, Mbah Nur juga dikenal sebagai seorang yang zuhud dan tidak cinta dunia.
Terkait keistimewaannya, ada banyak kisah keramat yang beliau miliki, diantaranya makam dan rumah Mbah Nur yang berada di pinggir sungai, walaupun berdempetan langsung dengan aliran air sungai, namun saat banjir bandang datang, air sungai tidak pernah sekalipun menyentuh atau merendam kediaman dan makam Mbah Nur. Air sungai seakan miring menghindari rumah dan makamnya.
Karomah lain yang dimilikinya juga disebutkan beliau seperti weruh sadurunge winarah (tahu sebelum persitiwa terjadi), melihat yang tersurat dari yang tersirat.
Spiritualitas Mbah Nur sangat nyata, selama hidupnya beliau dalam ubudiyyah sholat selalu berjamaah tak pernah ia tinggal. Kebersahajaan hidupnya tercermin dari tempat tinggalnya sederhana di pinggir sungai. Dan, sepeninggal Mbah Nur tempat tinggal yang sekaligus merupakan lokasi makamnya selalu ramai dikunjungi para peziarah.
Diketahui, sebagai wujud penghormatan dan kecintaan pada guru-gurunya, Habib Luthfi pun memampang foto Mbah Nur Walangsanga di ruang aula rumahnya.
Oleh : Abdul Azis Nurizun (Tukang Sapu di ‘Semesta Ilmu’)