Ironi Sejarah Indonesia

Opini143 Dilihat

MEDIASI – SEJARAH sering menghadirkan riwayatnya dengan cara yang tidak terduga. Dua foto legendaris bangsa Indonesia memperlihatkan hal itu dengan amat gamblang. Foto pertama (sebelah kiri) menampilkan Sukarno, Presiden pertama Republik ini, yang menandatangani sebuah dokumen penting: Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar). Foto kedua (sebelah kanan) menampilkan Soeharto menunduk, menandatangani Letter of Intent bersama IMF pada 1997–1998. Dua momen itu terpisah tiga dekade, tetapi keduanya diikat oleh benang merah: lahirnya Orde Baru dan keruntuhannya.

Supersemar, dalam ingatan sejarah bangsa, adalah awal dari Orde Baru. Dokumen itu, meski hingga kini masih menjadi polemik apakah benar orisinalnya tersimpan atau lenyap, telah menjadi dasar legal bagi Soeharto untuk mengambil alih kendali keamanan dan politik dari tangan Sukarno. Di titik itu, lahir sebuah rezim yang menjanjikan stabilitas dan pembangunan. Orde Baru tampil sebagai antitesis terhadap apa yang disebut kekacauan demokrasi liberal dan radikalisme politik.

Namun tiga dekade kemudian, ironinya justru hadir lewat sebuah dokumen lain: Letter of Intent dengan IMF. Jika Supersemar dipandang sebagai legitimasi lahirnya kekuasaan baru, maka LOI menjadi simbol keruntuhannya. Di dalamnya termuat serangkaian syarat reformasi ekonomi yang memaksa Indonesia tunduk pada tata kelola ekonomi global. Apa yang dahulu dijanjikan Orde Baru sebagai kemandirian dan pembangunan justru runtuh oleh krisis moneter dan tekanan eksternal.

Ironi semakin kentara jika melihat tokoh yang memegang pena di masing-masing foto. Sukarno menandatangani Supersemar dengan wajah tegang, disaksikan para jenderal–termasuk Soeharto dan istrinya, Siti Hartinah–dalam situasi politik yang genting. Soeharto menandatangani LOI dengan tubuh membungkuk, diapit pejabat IMF yang angkuh, dalam situasi ekonomi yang kacau. Gestur Michel Camdessus dalam foto itu, cukup memberi tahu kita apa yang sedang ia banggakan. Dua tanda tangan itu, dalam dua era berbeda, menandai lahir dan matinya sebuah rezim.

Ada paradoks yang tidak bisa diabaikan: Orde Baru lahir dari semangat anti-komunis, anti-chaos, dan menjanjikan berdikari. Tetapi Orde Baru runtuh justru karena gagal menjaga kedaulatan ekonomi dan membiarkan bangsa ini bergantung pada utang luar negeri. Dalam tiga dekade, cita-cita berdikari itu tergerus oleh realitas kapitalisme global yang semakin menekan.

Foto-foto itu mengingatkan kita bahwa kekuasaan sering kali tidak tumbang di medan perang, melainkan di atas meja, lewat pena dan kertas. Supersemar bukanlah hasil konfrontasi senjata, melainkan manuver politik. Begitu pula LOI IMF: bukan ledakan bom atau revolusi jalanan yang menjatuhkan Soeharto, melainkan tanda tangan yang menunjukkan penyerahan kedaulatan ekonomi pada lembaga internasional.

Sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan pun tampak seperti berputar di antara dua kutub: krisis politik yang mengantar lahirnya rezim baru, dan krisis ekonomi yang mengakhiri rezim itu. Rakyat menjadi saksi bisu yang harus menanggung akibat, sementara keputusan-keputusan besar dibuat oleh segelintir elit yang duduk di meja perundingan.

Ironi ini mengajarkan satu hal: bangsa yang besar tidak boleh menggantungkan nasibnya pada selembar kertas yang lahir dari tekanan, baik politik maupun ekonomi. Kedaulatan sejati tidak bisa hanya digenggam oleh segelintir orang, melainkan harus berakar pada rakyat. Jika tidak, sejarah akan terus mengulang hikayatnya: kekuasaan lahir dengan tinta, dan runtuh dengan tinta yang lain.

Oleh : Ren Muhammad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *