Kanjeng Nabi Muhammad Permata Semesta

Khazanah1216 Dilihat

MEDIASI – YATIMAH, gelar yang disematkan pada Ahmad bin Abdullah, jadi garansi dari tuhan bahwa ia akan dijadikan Permata Kehidupan. Ayahnya wafat saat ia masih belum tahu apa-apa. Separuh hidupnya purna sudah. Ibundanya menyusul kemudian saat ia masih balita.

Abdul Muthallib (Sang Pembelajar), menerima anak mulia itu dalam pengasuhannya. Tak berselang lama, ia pun seda. Ahmad kini berpindah inang pengasuh, ke Abu Thalib, pamannya. Saat itu ia sudah remaja. Lalu pamannya juga pergi, selamanya, manakala Ahmad membutuhkan begitu banyak kasih-sayang bagi dirinya.

Namun hidup punya keajaiban sendiri. Ahmad yang lahir di era kekeringan spiritual dan cenderung maskulin, malah tampil menjadi anomali di tengah masyarakat jazirah Arabia. Ia mencintai dirinya. Mencintai semua orang. Mencintai hidup yang sedang dijalaninya. Ia jadi sangat feminin tanpa kehilangan maskulinitas. Ia berperang dan mengampuni musuhnya. Ia santun tapi tahu menghukum. Ia menjadi ayah para yatim. Menjaga keharmonisan dunia sekelilingnya.

Tuhan Yang Maha Esa menahbisnya sebagai Nabi-Rasul terakhir dengan nama Muhammad. Tuhan memujinya, Muhammad memuji-Nya (QS al Ahzab [33]: 56). Sebuah kebiasaan yang tak lazim di zaman itu. Bahkan hingga hari ini. Bagaimana mungkin, seseorang yang hidup dalam kesendirian sedemikian rupa, malah tampil jadi kampiun di antara manusia?

Seribu empat ratus tahun lebih berselang. Tak kurang banyak manusia yang mencintai dan memuji Muhammad. Padahal ia telah menjadi sejarah. Lebih tepatnya, menyejarah dalam ruang-waktu. Teramat banyak yang ingin menirunya. Tapi sedikit sekali yang mengetahui kesejatian Muhammad di dalam dirinya sendiri.

Sungguh, kita semua adalah yatim-piatu kehidupan. Anak-anak tuhan (QS. Al Hijr [15]: 29). Dibesarkan oleh waktu yang meruang. Persis seperti Isa yang lahir sebelum Ahmada Musthofa. Sama dengan Adam yang hadir tanpa ayah dan ibunda. Kita ini sebatang kara dalam rimba raya semesta.

Muhammad tak hanya lelaki. Tak melulu maskulin. Ia juga pemalu seperti perempuan. Halus nan lemah-lembut dalam citra femininnya. Ia berhasil menjadi manusia utuh. Jadi yang dikehendaki tuhan. Bukan sebaliknya.

Allah mengejawantah dalam diri Muhammad, dan ia meng-Allah dalam tiap jengkal hidupnya. Kita yang pernah menjadi mineral, nabati, hewani, dan kini berada di alam insani, merupakan puncak mayapada semesta–untuk kemudian melanjutkan perjalanan tak hingga dalam keabadian tuhan. Al Fatihah….

Oleh : Ren Muhammad (Kawan yang Budayawan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *