Kematian Lebih Murah Hati

Publika1193 Dilihat

MEDIASI – Apakah kematian lebih murah hati dari persoalan hidup manusia? Pertanyaan ini muncul karena mungkin kita sama-sama mengalami kegamangan memerankan diri di dalam segala ketidakpastian, atau memang kekurangan akses untuk memahami pengetahuan yang mendasar.

Barangkali kita memang tak punya pemahaman penuh tentang kematian, sehingga kita artikan kematian adalah pemberhentian tanpa berkelanjutan. Barangkali kehidupan ini gagal kita tafsirkan sedemikian indah, di mana sebenarnya keindahan itu tak melulu perkara yang kita senangi, karena keindahan bisa berasal dari semua keadaan yang kita terima dengan lila legawa.

Ada banyak sekali orang yang tidak mampu menerima dan mengakui ‘kegagalan’ sebagai salah satu hasil dari ‘kemungkinan’ sebuah usaha, karena memang lingkungan atau lembaga pendidikan tidak mengajarkan ilmu ‘kemungkinan’ beserta seluruh momentumnya. ‘Kemungkinan’ adalah manzilah baina manzilatain, yaitu suatu tempat sebelum terjadinya ‘kegagalan’ atau ‘keberhasilan’. Kemungkinan bukanlah tempat untuk memastikan, sebab kemungkinan adalah ketidakpastian itu sendiri.

Tidak ada manusia yang mampu memastikan apapun, karena memang jatah manusia hanya mengusahakan. Kalau ada orang yang bisa memastikan sesuatu, dan memang terjadi sesuai rencananya, berarti mereka mendapat ‘keberhasilan’ yang mulanya juga kemungkinan. Maka, sebenarnya manusia sebelum sampai tempat kembali, mereka sedang berjalan di atas berbagai macam kemungkinan.

Kemudian; tidak ada yang benar-benar mengajarkan untuk ‘mengenali diri’ dengan serius, maka jangan berharap Tuhan dikenal sebagai Dzat yang nyata, karena kemampuan kita hanya mengenalkannya sebagai yang gaib. Gaib disampaikan secara umum adalah yang tak dapat dilihat. Ini yang membuat manusia modern menganggap bahwa dirinya hidup di dalam ruang kosong, dan menyembah kekosongan.

Manusia tak dipertemukan dengan Tuhan sebagai dzat, karena Tuhan Maha tak terjangkau. Tapi apakah tak terjangkau itu berarti tak menjangkau? Kita tidak boleh berpikir tentang dzat Allah, dan hanya boleh tafakkaru fi khalqillah. Tak boleh dipikirkan tentu bukan berarti tak boleh direnungi. Apabila merenungi adanya Tuhan tetap tidak diperbolehkan, lalu dengan cara apa lagi kita mengenal Tuhan?

Barangkali tidak ada yang serius mengajarkan untuk merenungi Tuhan dalam menifesto khalqillah, sehingga manusia yang tak mampu menerima kegagalan, lebih memilih bunuh diri di lumbung padi. Orang-orang yang bunuh diri bukan hanya merasa sendirian diantara umat manusia, mereka bisa saja tak menemukan Tuhan berpihak kepadanya, atau tak mengetahui adanya kekuatan transenden yang bisa melindunginya. Keluarga, lingkungan, sekolah, tempat kerja, tempat peribatan, dan lain sebagainya, hanya mengajarkan cara bertahan hidup dengan kemapanan materialistik.

Kita diajari untuk merasa ada, tapi tidak diajak mendalami “ada oleh apa?”. Seperti apa yang dikemukakan Ibnu Khaldun; bahwa dunia binatang memiliki rasa dan pengertian, akan tetapi tidak memiliki pemikiran dan perenungan. Pertanyaannya: Apakah watak peradaban dewasa ini mencoba membentuk manusia ke dalam realitas hewani?

Jiwa dan tubuh fisik yang membuat kita mempunyai persamaan dengan semua makhluk, sedangkan akal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Rasa dan pengertian harus tetap ada di dalam diri manusia sebagai entitas al-insanu hayawanun nathiq. Rasa dan pengertian adalah media supaya manusia dapat menyerap realitas eksternal untuk kemudian direnungi dan dipikirkan (internalisasi). Merasakan saja tidak cukup kalau tidak merenunginya. Mengerti saja tidak cukup, karena segala pengertian akan sia-sia jika tidak dipikirkan mendalam.

Akal merupakan pondasi awal membangun rasa batiniyah di dalam diri manusia, karena benda dan hewan hanya berhenti pada level rasa lahiriah. Dengan demikian, akal adalah alat untuk mengelola data dari a priori dan a posteriori menjadi aktual-fisikal guna menutup celah yang ada di dalam perkembangan jiwa manusia.

Masalah lainnya. Jangan-jangan kita terlalu jenuh karena tidak boleh menafsirkan sendiri maksud Tuhan dalam teks suci-Nya. Kita bimbang sebab tidak boleh menyimpulkan kejadian alam, karena takut dianggap mendahului kehendak-Nya. Kalau seperti itu, qauliyah dan kauniyah hanya akan menjadi makanan yang dipertontonkan di meja hidangan para orang-orang agung. Kita hanya boleh menghirup baunya dengan perasaan yang sangat lapar.

Lingkungan pendidikan sepertinya memang tidak benar-benar serius menjalani perannya sebagai elemen terpenting. Sarjana-sarjana kita hanya terpaku pada realitas formil. Lembaga pendidikan tak butuh manusia dengan semangat belajar, oleh karenanya jangan berharap mereka mengajak untuk mendalami sisi mikrokosmos (sejumput alam yang bernama manusia). Dengan kata lain, mereka hanya membutuhkan semangatmu dalam membayar tenaganya.

Tidak sepenuhnya salah mereka, karena memang negara mayoritas muslim ini hanya mampu memenuhi kantong mereka dengan dogma ‘kerja ikhlas’, Tuhan Maha Pengasih, atau Tuhan Maha pengampun. Jika begitu orientasi kemajuan bangsa ini; bukankah berarti negara sedang menyiapkan lubang yang luas untuk mengubur perkembangan masyarakatnya? Oleh sebabnya, jangan salahkan kalau tidak ada lagi tempat yang aman untuk lari dari masalah, kecuali tawaran dari pola pikir ‘bunuh diri’.

Pelarian manusia (eskapisme) bukan hanya ketidakmampuan menanggung perasaan sedih, kegagalan, dan kekecewaan. Orang yang tak memiliki kesadaran, kepekaan dan kepedulian, sebenarnya sama dengan bunuh diri. Mereka boleh dikatakan al-insanu hayawan, sebab orang dengan tipe seperti itu telah mengalami kegagalan esensi. Mereka adalah orang-orang yang bahkan tidak memiliki air mata untuk dapat menghilangkan derita sesamanya.

Mungkin benar—kata Nizar Qabbani, Pujangga Damaskus—bahwa air mata adalah manusia dan manusia tanpa air mata hanyalah bayangan. Tanpa kepekaan jiwa, manusia hanyalah daging yang diberi nama-nama yang terlalu mulia baginya. Maka, jangan berharap mereka membantu orang lain untuk merasakan adanya Tuhan, karena sebenarnya mereka sudah membunuh dirinya dan tenggelam dalam eksistensi-egosentrism.

فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا
“Maka (apakah) barangkali kamu (Muhammad) akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran)” Al-Kahfi: 6.

Apakah yang dimaksudkan itu Kanjeng Nabi bunuh diri, seperti yang kita pahami? Tentu saja tidak, karena itu bukan watak profetik. Tapi kalau yang dimaksudkan Allah agar supaya Kanjeng Nabi tidak bersikap sebagaimana Yunus yang meninggalkan—membiarkan, menelantarkan, lepas tangung jawab—umatnya, itu lebih mendekati sisi kemanusiaan seorang utusan Tuhan.

Bisa dimaksudkan, bunuh diri yang lebih nyata adalah mematikan kepekaan dan greget kemanusiaan. Umat IsIam yang hari ini syarat formalisme, sangat membutuhkan esensialisme. Kerupawanan dan kemegahan hanyalah formasi dunia yang tak terlalu berbahaya, karena yang berbahaya adalah ketidakmampuan memaksimalkan akal yang paling mendasar.

Oleh : Kang Ma’ruf (Penggerak Gusdurian Pemalang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *