MEDIASI – Nama lengkapnya Raden Haji Mardiyoto dan saat ini umur sekitar 90 tahun. Gelar ‘Raden’ disematkan pada namanya karena beliau secara garis silsilah keturunan berasal dari Keraton Surakarta (Keturuanan Penguasa Kerajaan Islam Mataram). Sementara gelar ‘Haji’ karena beliau dan almarhumah istrinya telah menunaikan rukun Islam kelima ke tanah suci setelah pensiun dari mengajar.
Sebelum menetap di desa Walangsanga Kecamatan Moga Pemalang, Mbah Haji Mardiyoto awalnya tinggal di wilayah Ulujami Pemalang. Ada yang menyebut beliau merupakan salah satu muridnya Mbah Nur Durya bin Sayyid, tokoh ulama karismatik di Walangsanga dan dikenal sebagai waliyullah serta makamnya sering diziarahi umat Muslim.
Mbah Mardi, begitu penulis menyebutnya, memang mukim dan menikah dengan perempuan Walangsanga sekitar tahun 60-an saat Mbah Nur masih hidup. Sementara Mbah Nur sendiri wafat pada tahun 1988. Jika disebut sebagai murid Mbah Nur memang belum ada kejelasan. Namun, menurut penuturan seorang warga yang ditemui penulis, mbah Mardi memang rajin sowan ke Mbah Nur, sejak masa hidupnya mbah Nur hingga sekarang wafatnya pun beliau diketahui sering ziarah ke mbah Nur dan mbah Umar Walangsanga.
Pribadi yang Nyentrik; Zuhud, sabar dan Berjiwa Nasionalis
Bagi alumni pesantren Mislakhul Muta’alimin (MIM) Karangtengah era tahun 2000-an ke bawah, terutama santri yang nyambi sekolah di MTs Salafiyyah Karangtengah, Mbah Mardi bukanlah pribadi yang asing. Ya, karena beliau memang dulu salah satu pengajar di sekolah menengah pertama milik pesantren MIM Karangtengah tersebut. Mbah Mardi saat menjadi pendidik di MTs, diberi amanah mengampu pelajaran Bahasa Jawa.
Beliau dikenal sebagai pribadi yang nyentrik nan zuhud karena sejauh pengetahuan Penulis selama Mbah Mardi mengajar di sekolah tidak pernah buka teks buku, berpenampilan seragam ‘keki kedinasan kementerian agama’ sederhana ala kadarnya (tidak rapi), membawa tas dinas yang sering berisi kebutuhan pokok lauk pauk, pulang pergi mengajar dari Walangsanga ke Karangtengah (berjarak sekitar 10 KM) sering kali berjalan kaki tapi tepat waktu (tidak terlambat) dalam mengajar.
Bagi Penulis, Mbah Mardi adalah seorang pendidik yang sabar dalam memberikan pelajaran pada anak didiknya. Pengalaman Penulis sendiri ketika diajarkan oleh beliau, nyaris tidak pernah melihat beliau marah. Padahal, saat itu anak didiknya hampir mayoritas ‘menyepelekan’ pembelajaran yang diberikannya dan membuat suasana gaduh saat beliau menerangkan pelajaran yang diampunya.
Selain pribadi zuhud dan penyabar, menurut Penulis, mbah Mardi juga seorang Nasionalis-Regilius. Hal tersebut dibuktikan selama beliau menjadi pendidik, di setiap pembelajaran Bahasa Jawa yang diampu ajarkannya beliau pasti selalu menyisipkan dan menerangkan pelajaran nilai-nilai Pancasila dan Kenegaraan plus nilai-nilai ajaran agama Islam, terutama sejarah Islam dan teks nash Qur’an-Hadist. (Part I)
Oleh : Abdul Azis Nurizun (Founder PP Babussalam Yayasan Semesta Ilmu Nurul Iman)