MEDIASI – Abdurrahman Ad-Dakhil, demikian nama kecil Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur. Nama tersebut merupakan pemberian sang Ayah, yang berarti seorang hamba yang penuh welas sekaligus Sang Penakluk. Nama itu terinspirasi dari seorang panglima perang dinasti Umayyah yang tanpa rasa takut menaklukan kerajaan Spanyol hanya dengan tujuh ribu pasukan. Thariq bin Ziyad, demikian nama populernya.
Ketegaran hati Gus Dur yang seperti batu karang. Tangguh dan kokoh, meski badai kerap menerjangnya. Berani mengambil tindakan yang diyakininya benar, meski caci maki dan hinaan harus diterimanya dari orang-orang yang tidak sepaham dengan gagasan-gagasannya, boleh jadi sedikit banyak terinspirasi oleh tokoh yang diidolakan sang ayah tersebut. (dinukil dari Novel ‘Mata Sang Penakluk; Manaqib Abdurrahman Wahid)
Abdurrahman “Ad Dakhil” Wahid atau biasa akrab disapa Gus Dur merupakan salah satu tokoh guru bangsa yang unik sekaligus menarik. Begitu juga dengan kisah-kisah yang mengitari hidupnya. Berbagai identitas, gelar serta julukan tersemat pada sosok yang unik ini, dari yang sisi positif hingga negatif.
Beliau dikenal sebagai pembela kaum minoritas, lokomotif demokrasi dan HAM, bapak pluralisme, kyai kharismatik, hingga sebagian orang menganggapnya sebagai Waliyullah.
Secara genealogis ia dilahirkan dari lingkungan pesantren dan tokoh besar Indonesia yang menjadi pilar penjaga Islam selama ratusan tahun. Kakeknya dari garis ayah merupakan ulama kharismatik pendiri NU, yaitu Hadratusy-syaikh Hasyim Asy’ari.
Sedangkan kakek dari garis ibu adalah seorang ulama yang memiliki andil besar dalam sejarah pergerakan bangsa, murid sekaligus sahabat Hasyim Asy’ari, KH Bisri Syansuri. Sang ayahnya sendiri Wahid Hasyim mantan menteri Agama era Soekarno merupakan tokoh nasional yang telah dikukuhkan menjadi pahlawan nasional
Pergaulan Abdurrahman Wahid dikenal luas, lintas batas komunitas, etnis, ras dan agama. Menjalin erat pertalian pertemanan bukan hanya dengan para kyai, namun juga pendeta, biksu dan rabi Yahudi. Literatur bacaanya pun tidak hanya kitab suci dan kitab kuning yang menjadi menu wajib pesantren, tetapi juga Das Kapital karyanya Karl Marx, jurukannya kaum Marxis dan Komunis.
Gus Dur memiliki kemampuan mengutip ayat-ayat suci, hadis nabi, atau fatwa para ulama klasik sefasih mendedah pemikiran para Filosof Dunia. Dia gandrung dengan suara merdu Umi Kultsum, penyanyi legendaris Mesir atau grup kosidah Nasida Ria dari Semarang hingga alunan musik klasik karya komponis dunia sekelas Beethoven dan Mozart.
Beragam jabatan dan aktivitas pernah dilakoninya, mulai jadi penjual kacang dan es, ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) hingga Presiden Republik Indonesia. Sisi unik lain yang dilakoni juga, pada saat siangnya ia bisa saja tengah berdebat secara ilmiah mengenai demokrasi, sedang malam harinya ziarah di makam para ulama dan wali.
Kecerdasan serta daya ingatnya yang cemerlang serta kemampuan ‘ilmu laduni’nya tidak ada yang meragukan. Sebuah karunia yang sudah terlihat sejak ia masih usia belia, sebagaimana dikisahkan dalam buku Novel berjudul Mata Penakluk: Manakib Abdurrahman Wahid. Karya buku sastra yang menghadirkan sosok Gus Dur kecil sampai akhir hayat dengan segenap kisahnya yang penuh warna.
Disuguhkan kehadapan pembaca dalam bentuk sebuah novel dengan menggunakan sudut pandang “aku”, Abdullah Wong, penulis novel ini yang juga sahabat karib ketua panitia acara Abdul Azis Nurizun, berhasil membawa pembaca seolah-olah mendengarkan penuturan Gus Dur secara langsung.
Diskusi bedah novel ini pernah diselenggarakan di GOR Mahardika Desa Cikasur Kecamatan Belik Kabupaten Pemalang beberapa tahun lalu (27/09/15) oleh komunitas Gusdurian Gunung Selamet (Pemalang) dan Semesta Ilmu Learning Center (Yayasan Semesta Ilmu Nurul Iman).
Saat itu, selain Penulis Novel tersebut Abdullah Wong, acara ini juga dihadiri oleh Haris Burhani MAP dari Puslitbang Kehidupan keberagamaan Kemenag RI, Chumedi Yusuf Budayawan Purwokerto (Seknas Gusdurian), Abdul Wahab aktifis NU Papua dan Khaerusshaleh (Kordinator Gusdurian Tegal) serta Eko Wahyudi (Aktivis dari Kebumen).
Buku novel ini sangat istimewa, karena menghadirkan sosok Gus Dur secara lebih manusiawi dan utuh. Gus Dur yang menangis di usia tiga belas tahun ketika menyaksikan sang ayah terluka parah akibat kecelakaan hebat hingga menyebabkan kematian. Gus Dur yang nakal dan usil terhadap para santri dewasa serta teman sebayanya. Gus Dur yang tergila-gila dengan buku.
Menurut Ketua Panitia dan juga Penggerak Senior Gusdurian Pemalang, Abdul Azis Nurizun, dalam penyampaiannya sangat bersyukur atas kerjasama dari setiap elemen yang berpartisipasi dan berkontribusi dalam kegiatan pengembangan Literasi ini. Ia menegaskan bahwa Gusdurian Pemalang berusaha membuat acara-acara yang bermanfaat yang bisa meningkatkan pengetahuan dan juga mempererat tali persaudaraan.
Ia berharap, salah satu kegiatan dengan bedah buku novel tentang Gus Dur ini, generasi muda yang tidak menyaksikan masa hidup Cucu Hadrotussyeikh Hasyim Asy’ari ini bisa mengenal sosok tokoh teladan bangsa lewat sebuah karya sastra.
“Acara ini di selenggarakan sebagai media silaturahmi komunitas muda lintas daerah yang ada di sekitar Lereng gunung Selamet seperti Tegal, Pemalang dan Purbalingga, serta ikhtiar mendekatkan diri untuk mengenal lebih dekat sosok Gus Dur dan berupaya untuk terus mengkampanyekan ide-ide pemikiran Gus Dur, terutama tentang perdamaian.”kata Azis.
Jaringan Gusdurian adalah Komunitas Independent dan Terbuka
Ada pun tentang Komunitas Gusdurian ini, Chumedi Yusuf, mewakili Seknas Gusdurian menjelaskan bahwa Gusdurian itu independent. Siapa saja boleh bergabung dengan komunitas ini jika merasa pemikirannya searah dan sepaham dengan Pemikiran Gus Dur.
“Bukan kaum Islam saja, tetapi semua agama Katolik, Kristen, suku atau etnis lainnya juga banyak yang ikut komunitas Gusdurian” ujar Gus Yusuf
Lebih lanjut ia mengatakan, Jaringan Gusdurian diinisiasi oleh koordinator pusat yang merupakan Putri Gus Dur, Alissa Wahid. Gusdurian bukan ormas, orsospol, jaringan ini adalah sebuah komunitas yang tidak ada komando atas ke bawah, walaupun Gusdurian secara kelembagaan mempunyai sekretariat nasional yang kantor pusatnya di Jogjakarta.
“Ada pesan dari Mba Alissa Wahid, Gusdurian tidak pernah berpolitik praktis, kegiatan Gusdurian kegiatan sosial dan pembelaan terhadap kaum tertindas” ungkapnya.
Gus Dur Telah Meneladankan, Kita Tinggal Meneruskan
Bagi Gusdurian, Abdurrahman Wahid mungkin sudah terbaring dengan tenang di samping keluarganya. Namun semangat, pengabdian, keberanian, serta pemikiran-pemikirannya yang selalu menyegarkan akan tetap utuh dalam memori orang-orang yang mencintainya. Terlebih dengan maraknya literatur yang mengabadikan namanya dalam prasasti sejarah.
Keberadaan buku yang mengangkat kisah para tokoh yang memiliki kontribusi besar terhadap masyarakat dan bangsa sudah sepatutnya diapresiasi. Bukan hanya sekedar sebagai amal jariyah penulisnya saja dan sebagai upaya melestarikan kenangan atas kisahnya semata. Namun lebih dari itu, keberadaannya turut memperkaya literatur yang dapat dinikmati pembaca secara luas, terutama kaum muda. Sehingga kisahnya dapat diteladani sekaligus menginspirasi bagi setiap generasi.
Untuk KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)… Lahu, Al FATIHAH