Pertunjukan Wayang Pada Tradisi Bulan Suro di Desa Wringingintung Kecamatan Tulis Kabupaten Batang

Opini448 Dilihat

MEDIASI – Indonesia ialah negeri dengan bermacam kebudayaan yang menjadi karakteristik di tiap wilayah. Budaya tercipta dari banyak faktor yang rumit, seperti sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, serta karya seni yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan adalah cermin masyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari perilaku masyarakat pendukungnya. Keanekaragaman kebudayaan suku bangsa di Indonesia mempunyai keunggulan lokal ataupun mempunyai kearifan local yang berbeda-beda. Kearifan lokal ini tercermin dalam kebiasaan hidup warga setempat yang sudah berlangsung lama. Kearifan lokal yang sudah berlangsung lama dalam perkembangannya bisa berganti menjadi tradisi, walaupun prosesnya memerlukan waktu yang sangat panjang.

Masyarakat desa Wringingintung, kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, merupakan salah satu daerah yang masih menjaga kelestarian budaya melalui beberapa tradisi yang dilakukan di setiap tahunnya. Salah satu tradisi yang masih dilakukan dari generasi terdahulu hingga sekarang adalah upacara peringatan bulan Suro atau yang biasa disebut Suronan yang menampilkan sebuah tradisi berupa pertunjukan wayang. Suran atau Suronan merupakan sebutan untuk berbagai tradisi yang diadakan pada bulan Muharram atau dalam bahasa Jawa disebut Bulan Suro. Suran atau Suronan disebut juga dengan tanggap warsa, yang berarti menyongsong datangnya tahun baru islam sekaligus tahun baru Jawa. Masyarakat Jawa melihat nilai-nilai spiritual dan mistik dalam pergantian tahun Jawa sebagai salah satu acuan dalam mengarungi kehidupan.

Ritual Bulan Suro atau Suronan ritual yang dilaksanakan oleh Suku Jawa ini bertujuan untuk menjauhi kesialan, musibah serta bencana yang tidak diinginkan, sehingga mereka diharuskan melaksanakan ritual Bulan Suro tersebut. Ritual ini dilaksanakan dengan diiringi berbagai macam kegiatan lain seperti puasa, mengadakan sesaji, tumpengan, dan lain sebagainya. Salah satu tradisi pada malam satu Suro yaitu menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit maupun golek semalam suntuk, yang dimana masyarakat yang hadir pada saat itu juga tidak tidur untuk menyaksikan pertunjukan wayang tersebut. Seni pewayangan merupakan kesenian yang tumbuh dan berkembang di Jawa sejak masa prasejarah. Pada masa itu, pendahulu-pendahulu kita sudah menciptakan alat-alat pemujaan berbentuk patung yang digunakan sebagai media pemanggilan roh nenek moyang yang disebut hyang. Wayang juga merupakan kesenian yang digunakan sebagai sarana untuk memahami suatu tradisi, pendekatan kepada masyarakat, serta penyebarluasan nilai-nilai.

Namun pada era yang sekarang beberapa golongan masyarakat terkadang kurang memahami atau bahkan mengetahui tradisi-tradisi yang terdapat di daerahnya. Sebagian masyarakat Desa Wringingintung, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, yang masih berusia remaja kurang mengetahui mengenai makna simbol-simbol yang ada pada pertunjukan wayang yang dilaksanakan setiap bulan Suro di daerah ini. Hal ini juga disebabkan sebagian dari mereka bukanlah penduduk asli di wilayah ini, selain itu juga beberapa bukan berasal suku Jawa sehingga walaupun mereka mengetahui bahwa terdapat pertunjukan wayang di setiap tahunnya tetapi kurang mengerti maknanya. Kebanyakan hanya menganggap pertunjukan wayang ini hanya sebagai hiburan yang diperuntukan kepada masyarakat. Mereka hanya mengetahui beberapa simbol saja seperti simbol sesaji yang memang selalu disiapkan saat pertunjukan ini dilangsungkan. Jika ditinjau lagi, masih banyak simbol-simbol yang lain yang terdapat pada pertunjukan wayang.

Menurut Tylor kesadaran manusia akan konsep roh. Hal itu terjadi karena dua sebab. Perbedaan yang tampak antara benda hidup dan benda yang mati. Makhluk yang masih dapat bergerak disebut makhluk hidup, tetapi apabila tidak bergerak lagi, maka itu berarti bahwa makhluk tersebut mati. Dengan demikian, manusia lama-kelamaan mulai menyadari bahwa gerak dalam alam (yaitu hidup) disebabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada di samping tubuh jasmaninya, yakni jiwa (yang kemudian lebih khusus disebut roh). Pengalaman bermimpi. Dalam mimpinya manusia melihat dirinya berada di tempat-tempat lain selain tempat ia tertidur. Maka ia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang berada di tempat tidur, dan bagian lain dari dirinya, yaitu jiwanya (rohnya), yang pergi ke tempat lain.

Kebudayaan dan manusia sangat begitu erat hubungannya. Disebabkan karena kebudayaan bukan hanya memperlihatkan tingkah laku manusia tetapi juga pergaulan dalam kehidupannya di masyarakat, dengan lingkungan dan alam sekitarnya. kebudayaan memiliki arti sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. Manusia adalah makhluk budaya karena mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia. Dalam kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana tanggapan manusia terhadap dunianya, lingkungan serta masyarakatnya dan seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan pokok untuk menentukan sikap terhadap dunia yang dihadapinya, bahkan untuk mendasari setiap tingkah laku yang hendak dan harus dilakukannya sehubungan dengan pola hidup dan tata cara kemasyarakatannya.

Upacara tidak pernah terlepas dalam kehidupan manusia. Dari mulai manusia itu lahir hingga pada saat manusia itu meninggal. Setiap masa peralihan yang dialami oleh manusia ini banyak ditanggapi berbeda oleh beberapa etnik. Sehingga upacara upacara ini menjadi sebuah ritual yang tetap dilaksanakan manusia dalam kehidupannya. Seperti halnya ritual Bulan Suro yang dilaksanakan masyarakat di Desa wringingintung kecamatan tulis. Tradisi Ritual Bulan Suro tentunya menjadi sebuah wujud dari kebudayaan masyarakat Desa wringingintung. Hal ini sekaligus menunjukkan betapa masyarakat ditempat tersebut begitu menjunjung kebudayaan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Ritual Bulan Suro merupakan salah satu wujud kebudayaan dalam bentuk activities. Akan tetapi wujud kebudayaan yang berupa aktivitas ini juga saling berkaitan dengan wujud kebudayaan.

Wayang merupakan refleksi dari budaya Jawa, dalam arti pencerminan dari kenyataan kehidupan, nilai dan tujuan kehidupan, moralitas, harapan dan cita-cita kehidupan orang Jawa. wayang adalah simbol dari hidup dan kehidupan manusia. Dalam hal ini cerita wayang pada setiap pertunjukkan tradisional terdapat Nilai-nilai luhur yang berguna untuk masyarakat karena dapat mengetahui gambaran kehidupan manusia dan harus bagaimana hidup ini dilakukan oleh manusia. Lebih lanjut menjelaskan bahwa peraga dalam pertunjukkan tradisional wayang dapat dikelompokkan menjadi empat bagian yaitu : 1) Peraga Boneka, seperti : Wayang Golek, Wayang Kulit dan Wayang Klethik 2) Peraga Orang, seperti : Wayang Orang 3) Peraga Gambar, seperti : Wayang Beber dan 4) Tanpa Peraga, seperti : Wayang Kentrung dan Wayang Jemblung. Berdasarkan keterangan Ki Hadi Sutoyo (informan) (2021) bahwa wayang yang berkembang saat ini merupakan perubahan bentuk wayang Hindu yang berkembang di Bali yang dikembangkan bentuknya oleh para Wali terutama oleh Sunan Kalijaga guna kepentingan Syiar agama Islam dengan memasukkan unsur-unsur dakwah yang selaras dengan tuntunan yang ada.
Upaya mawas diri dari masyarakat tersebut untuk melihat kebelakang sebelum sesuatu terjadi guna memperbaiki diri pada kehidupan yang lebih baik untuk masa depan selanjutnya. Budaya eling lan waspada inilah yang kemudian mendorong seseorang untuk hidup seimbang dan selaras dalam hubungannya dengan sesama, dengan alam lingkungan tinggalnya serta dengan Sang Pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Inilah sebenarnya tujuan yang dicapai pada simbol atau gambaran dari setiap cerita pertunjukan tradisional wayang. Melalui budaya lokal masyarakat diajak kembali untuk berpijak pada tradisi, mengkaji ulang atas Nilai-Nilai Budaya yang selama ini menjadi kearifan lokal dan telah ada sejak leluhur nenek moyang kita. Ajaran Pendidikan yang mencerminkan kearifan lokal dapat ditemukan dalam kebudayaan Jawa. Cara berpikir, bertingkah laku dan bersikap dari suatu masyarakat disuatu daerah tertentu dimana terdapat Nilai-Nilai Budaya keluhuran budi beserta hal-hal kebaikannya yang secara obyektif sepantasnya untuk menjadi teladan merupakan kearifan lokal. Salah satu bentuk dari kearifan lokal dari masyarakat di Jawa adalah budaya pertunjukan tradisional wayang.

Bagi Masyarakat Jawa semua kegiatan Ritual memiliki makna yang dicitptakan dan diartikan oleh Suku Jawa itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa makna berarti arti atau maksud sesuatu kata. Jadi makna dari Ritual “Bulan Suro” ini hanya dapat diketahui oleh masyarakat Jawa saja karena merekalah yang membangun arti, makna, bahkan simbol. Setelah melakukan penelitian maka dapat diketahui bahwa makna dari diadakannya ritual “Bulan Suro” ini adalah untuk mendapatkan keselamatan, terhindar dari segala jenis penyakit,dan lain sebagainya.
Cerita dan pertunjukkan tradisional wayang dan karakter dari tokoh tokoh wayang menggambarkan Sebagian atas keadaan nyata dalam kehidupan di masyarakat. Dalam pertunjukkan tradisional wayang hal tersebut akan kelihatan jelas, dimana cerita apapun yang dimainkan pada setiap pertunjukkan akan mengkonfrontasikan antara dua golongan yaitu golongan ksatria dan golongan angkara murka. Dimana golongan ksatria akan mengedepankan akal pikiran rasional dan hati Nurani serta memposisikan sebagai penegak kebenaran dan bijaksana. Sementara itu, golongan angkara murka lebih mengutamakan pada Hasrat nafsu, kepuasan dan kekuasaan. Oleh sebab itu, pada pertunjukkan tradisional wayang terkandung Nilai-Nilai yang sangat berguna dalam mengasah jiwa manusia dalam kehidupan bermasyarakat agar menjadi manusia yang mempunyai rasa kemanusiaan dan beradab. Dibutuhkan peran serta masyarakat dalam melestarikan budaya pertunjukan wayang ini.

Wayang sendiri sebagai sebuah benda mati memerlukan perawatan yang baik agar bentuk dan sosok wayang tetap ada pada pakemnya. Strategi pemeliharaan dibutuhkan agar benda yang tersimpan tidak rusak ataupun dimakan serangga, sehingga keropos bahkan hancur menghilangkan jejak bentuk benda itu sendiri. Hal ini dapat berakibat tidak dapat dikenalinya lagi bentuk wayang sebagai karakter tokoh tertentu
Dari berbagai cerita pertunjukan tradisional wayang terkait Nilai-Nilai Budaya yang terkandung pada pertunjukan tradisional wayang yang diharapkan dapat mendukung kepariwisataan di Indonesia dan mempertebal penddiikan karakter bangsa Indonesia diantaranya sebagai berikut :
• Nilai Religius Dalam cerita pertunjukan tradisional wayang “Petruk dadi Ratu” bahwa Petruk sebenarnya hanyalah Punakawan dan sebagai Abdi dari golongan Ksatria. Namun demikian para tokoh Ksatria tidak ada yang protes karena sudah menjadi jalan cerita hidup manusia yaitu Urip mung saderma nglakoni, manungsa mung kinarya ringgit kang winayangake dening Hyang kang Murbeng Dumadi (Manusia hidup sekedar menjalani, sedangkan pula manusia hanya sebagai wayang yang dimainkan oleh Tuhan Yang Maha Pencipta). Maksudnya bahwa diatas dari kekuatan dan kekuasaan manusia masih terdapat kekuatan dan kekuasaan adikodrati yang mempunyai kekuasaan penuh dan menentukan nasib manusia yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta. Nilai religius yang terkandung dalam cerita wayang “Petruk dadi Ratu” bahwa manusia harus mempunyai kepercayaan untuk berserah diri kepada Sang Pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
• Nilai Pendidikan Karakter Cerita pertunjukkan tradisional wayang yang mencerminkan Nilai-Nilai Pendidikan karakter dapat ditemukan dalam cerita wayang “Sumantri Ngenger”. Mengisahkan tokoh Sumantri yang mengabdi kepada Raja Mahespati yang Bernama Prabu Arjuna Sasrabau. Untuk diterima menjadi Abdi, Sumantri harus memenuhi persyaratan yaitu harus mampu memboyong Dewi Citrawati yang dijadikan sayembara di Magada. Sumantri berhasil mengalahkan semua lawannya dan memboyong Dewi Citrawati yang kemudian dipersembahkan kepada Prabu Arjuna Sasrabau. Nilai Pendidikan yang terkandung dalam cerita wayang “2” yaitu terletak pada karakter tokoh Sumantri dalam konteks menanamkan loyalitas dan semangat etos kerja.
• Nilai Kebangsaan Keteguhan terhadap sikap dan prinsip hidup digambarkan pada cerita pertunjukkan tradisional wayang dengan cerita “Kumbakarna Gugur”. Bahwa kecintaan Umbakarna kepada negara tercermin dengan keteguhan hatinya yaitu berani berkorban nyawa untuk kehormatan negara. Nilai kebangsaan yang dapat ditemukan dalam cerita wayang “Kumbakarna Gugur” adalah jiwa nasionalisme.
• Nilai Kepemimpinan Asthabrata adalah ajaran kepemimpinan terdapat dalam cerita pertunjukkan tradisional wayang “Wahyu Makutha Rama”, mensyaratkan bahwa seorang raja ideal harus memiliki delapan karakter utama yang berasal dari delapan dewa Lokapada atau Penjaga Alam Semesta yaitu Pemurah (Indra), Tegas dalam melaksanakan hukum (Yama), Bijakasana dan Halus dalam bertutur kata (Surya), Dermawan (Kuwera), Cerdas dan Cendekia (Baruna), Berani dan Bersemangat baja (Brama). Tindakan sehari-hari mencerminkan keutamaan muncul karena wibawa seorang pemimpin tersebut yang tidak dimintakan dari orang-orang yang dipimpinnya. Dalam hal ini seorang pemimpin harus mendapatkan pengakuan tulus dan mandat dari rakyatnya, sehingga legitimasi seorang pemimpin akan teruji. Nilai kepemimpinan yang dapat diungkapkan dalam cerita wayang “Wahyu Makutha Rama” adalah Keteladanan dan Bijak.

Tradisi pertunjukan wayang di Indonesia, khususnya di Desa Wringingintung, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya yang kaya akan makna dan nilai-nilai luhur. Pertunjukan ini tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga sarana untuk menyampaikan ajaran moral dan spiritual kepada masyarakat. Dalam konteks ritual Bulan Suro, yang dilaksanakan setiap tahun sebagai bagian dari tradisi Suronan, pertunjukan wayang menjadi medium untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan duniawi dan spiritual. Melalui cerita-cerita yang dipentaskan, masyarakat diajak untuk merenungkan nilai-nilai kehidupan yang dapat diterapkan dalam keseharian mereka. Seni pewayangan di Indonesia memiliki akar sejarah yang dalam dan telah berkembang sejak zaman prasejarah. Wayang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai alat pendidikan dan penyebaran nilai-nilai budaya.

Dalam pertunjukan wayang, terdapat simbol-simbol yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat positif maupun negatif. Melalui karakter-karakter dalam cerita, penonton dapat belajar tentang moralitas, etika, dan tanggung jawab sosial. Hal ini menunjukkan bahwa wayang bukan hanya sekadar seni pertunjukan, tetapi juga cermin dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Ritual Bulan Suro di Desa Wringingintung mencerminkan kearifan lokal masyarakat Jawa yang sangat menghargai tradisi dan warisan budaya. Dalam pelaksanaannya, ritual ini melibatkan berbagai kegiatan seperti puasa, sesaji, dan tumpengan, yang semuanya memiliki makna mendalam. Masyarakat percaya bahwa dengan melaksanakan ritual ini, mereka dapat menjauhkan diri dari kesialan dan bencana. Pertunjukan wayang pada malam satu Suro menjadi puncak dari rangkaian kegiatan tersebut, di mana masyarakat berkumpul untuk menyaksikan cerita-cerita yang mengandung pesan moral dan spiritual.

Namun, tantangan besar dihadapi oleh tradisi ini seiring dengan perkembangan zaman. Generasi muda di Desa Wringingintung mulai kehilangan pemahaman tentang makna dan simbolisme yang terkandung dalam pertunjukan wayang. Banyak dari mereka yang hanya melihatnya sebagai hiburan semata tanpa memahami nilai-nilai yang ingin disampaikan. Hal ini menjadi perhatian penting bagi masyarakat setempat untuk melakukan upaya revitalisasi terhadap pemahaman tradisi ini agar tetap relevan bagi generasi mendatang. Edukasi mengenai makna simbol-simbol dalam wayang perlu ditingkatkan agar generasi muda tidak hanya menjadi penonton pasif tetapi juga memahami warisan budaya mereka. Pentingnya pelestarian tradisi pertunjukan wayang tidak hanya terletak pada aspek budaya semata, tetapi juga dalam konteks pendidikan karakter bangsa. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita-cerita wayang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam membentuk karakter individu dan masyarakat.

Misalnya, nilai-nilai kepemimpinan, kebangsaan, dan religiusitas yang diajarkan melalui tokoh-tokoh dalam cerita wayang dapat membantu membangun identitas nasional yang kuat. Dengan demikian, pertunjukan wayang berperan penting dalam mendidik generasi muda untuk memiliki rasa cinta tanah air dan tanggung jawab sosial. Keberlanjutan tradisi pertunjukan wayang di Desa Wringingintung memerlukan dukungan dari seluruh elemen masyarakat. Kolaborasi antara pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan komunitas lokal sangat penting untuk menciptakan program-program yang mendukung pelestarian budaya ini. Selain itu, inovasi dalam penyajian pertunjukan wayang juga diperlukan agar lebih menarik bagi generasi muda tanpa mengurangi esensi dari nilai-nilai yang ada. Dengan demikian, diharapkan tradisi ini dapat terus hidup dan berkembang seiring dengan perubahan zaman sambil tetap menjaga akar budayanya.

Oleh : Helmi Lutfi Fikri (Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN KH Abdurrahman Wahid)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *