Santri dan Peradaban Digital

Opini831 Dilihat

MEDIASI – Sejatinya perubahan zaman harus kita ikuti karena pada dasarnya setiap zaman ada orangnya dan setiap orang punya zamannya.

Termasuk santri, santri adalah seseorang orang yang mencari ilmu agama di pesantren. Gus Mus juga menambahkan pengertian santri yakni, orang yang berakhlak baik juga bisa disebut santri.

Banyak yang menganggap bahwa santri selalu di identikan dengan “miskin” Inovasi maupun kreativitas bahkan ada yang mengatakan santri mengalami kejumudan dalam perkembangan zaman apalagi di zaman serba digital.

Di dunia digital arus informasi mudah diakses bahkan kemampuannya melebihi “tuhan”, yang serba ada. Tinggal klik semua yang dicari pasti ada. Karena banyaknya informasi yang banyak dan liar maka masyarakat tidak bisa memfilter semua dimakan apa adanya sehingga dalam pemahamannya sebatas tekstualis dan menjadikan kontradiksi dengan realita yang ada.

Perihal semacam ini harus diambil alih oleh seorang santri, sejatinya santri adalah “agen perubahan” yang “melek” akan permasalahan yang ada di masyarakat.

Pesantren.id, islami.id dan NU online adalah salah satu bukti nyata peran dari seorang santri. Peran seorang santri yang “melek” terhadap digital, yang merespon permasalahan berbagai sektor diselesaikan dengan cara perspektif seorang santri dengan pendekatan secara moderat.

Pesan yang disampaikannya cenderung “Rahmatan lil ‘Alamin”, bisa diterima disemua kalangan karena merespon permasalahan yang kontemporer atau kekinian.

Dalam perkembangannya banyak pesantren membuat kanal informasi seperti lirboyo.net, tebu ireng online, gusdurian dan lain sebagainya merupakan hasil kreativitas dan inovasi dari santri. Maka dari itu dalam rangka membendung narasi yang bisa memecah belah sudah seharusnya dan wajib santri harus mengambil alih tentunya dengan tiga cara:

Yang pertama membaca, membaca buku dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang melekat. Seperti yang disampaikan oleh Gus Dur bahwa “Guru spiritual adalah realitas” artinya apa yang dibaca ada kesesuaian dan berkait apa yang ada di masyarakat atau tidak.

Yang kedua menulis, karena dengan tulisan kita jadi tahu dan mengenal orang tersebut. Dalam pandangan Pramoedya Ananta Toer “Menulis adalah bekerja untuk keabadian” dan syarat menulis ada tiga menurut Kuntowijoyo yakni “Menulis, menulis dan menulis”. Sehingga dari tulisan kita bisa mengenal sejarah dan dari tulisan pula kita bisa menciptakan peradaban.

Dan yang ketiga implementasi. Implementasi diartikan sebagai pelaksanaan agar tersampaikan tujuan atau put something into effect (penerapan sesuatu yang memberikan efek atau dampak). Sudah sejatinya sebagai santri selalu “agen perubahan” harus merespon gejala, permasalahan dan solutif terhadap masalah tersebut apalagi di zaman digital ini, harus jeli dalam “mengkonsumsi” pemberitaan, isu dan fitnah yang mengarah perpecahan.

Sehingga dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional, penulis mengajak santri agar berpartisipasi tidak hanya sebagai “pengkonsumsi” sejarah melainkan “pencipta” sejarah, karena santri adalah agen perubahan.

Oleh : Irfan Fatoni (Ketua Ansor Ranting Kebondalem dan Penggerak Gusdurian Pemalang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *