MEDIASI – KH Tadjri merupakan salah satu dari ‘Empat Serangkai’ ulama pejuang syiar Islam di wilayah kitaran Batursari yang telah wafat. Selain beliau, dua lainnya yang juga telah wafat adalah Kiai Abdul Rahim dan Kyai Sholihin.
Dari ’empat serangkai’ kiai desa Batursari yang masih jumeneng (hidup) dan istiqomah mensyiarkan tarbiyah Islamiyyah Annahdliyyah adalah Mbah KH Zaenudin. Di usia senjanya serta kondisi kesehatan yang menurun, tidak menyurutkannya mengurusi umat dengan masih rutin menggelar ta’lim dan Imam Masjid Tundagan Batursari.
Menurut kyai muda Batursari, Kyai Sam’un Ghozi, keempat tokoh inilah yang merupakan ‘grand father’nya syiar Islam di Batursari sejak sekitar era 50-an. Masing-masing kyai tersebut memang berbeda karakter dan medan perjuangannya, namun keempatnya saling menguatkan dalam pengembangan syiar Islam di Batursari.
Riwayat Hidup dan Perjuangan KH Tadjri
KH Tadjri dilahirkan di desa Mandiraja kecamatan Moga kabupaten Pemalang. Beliau lahir pada 7 Juli 1939 dari pasangan mbah Darma dan nyai Darni. Dari silsilah leluhurnya, diceritakan beliau masih tersambung pada Mbah Pangeran Buminoto atau Dadung Awuk yang makamnya berada di Mandiraja. Makam Mbah Buminoto merupakan salah satu makam yang dikramatkan masyarakat Mandiraja dan sering diziarahi warga Muslim di wilayah kitaran Pemalang.
KH Tadjri mengenyam pendidikan ilmu agama dimulai sejak kecil pada ulama di desa Mandiraja. Di desa ini kegiatan syiar agama Islam memang sudah cukup terkenal sejak lama. Karena desa ini juga dikenal sebagai salah satu desa tertua di Pemalang. Diantara ulama yang terkenal di Mandiraja ada Kyai Hasan Kaprawi, Kyai Muhsinin Anis dan Kyai Khasan Munawir.
Selepas menyelesaikan pendidikan dasar agama dan sekolah umum (Sekolah Rakyat/SR) dan lanjutan, kyai Tadjri kemudian melanjutkan pendidikan Sekolah Guru Besar (SGB) atau sekolah tingkat akhir di Pemalang kota sambil mengaji nyantri di pesantren KH Mashuri Pemalang.
Setelah menyelesaikan pendidikan SGB, beliau kemudian diangkat menjadi guru negeri dan ditugaskan mengajar di wilayah desa Batursari. Kyai Tadjri saat itu termasuk birokrat muda, karena beliau diangkat jadi guru negeri sekira usia 16 tahun. Selain di Batursari, kyai Tadjri juga pernah di tugaskan mengajar di Gambuhan dan kemudian kembali lagi di Batursari. Beliau akhirnya ditugaskan dan mendapat mandat menjadi Kepala sekolah SD Negeri 03 di desa Clekatakan Pulosari.
Selama di Batursari Beliau indekost atau mengontrak di rumah kepala desa Batursari saat itu yang bernama Lurah Ismail. Kemudian, akhirnya Kyai Tadjri muda dijodohkan dengan salah satu putri Lurah Ismail yang bernama Ma’rifah.
Guru Negeri (Birokrat) yang Khidmat Berjuang Mengajarkan Ilmu Agama pada Umat
Selain seorang ulama tarbiyah (pendidik) ilmu agama, KH Tadjri juga dikenal sebagai birokrat Pegawai Negeri Sipil atau Aparatur Sipil Negara (ASN) di dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemalang.
Kesibukan beliau sebagai pendidik di sekolah umum tidak menjadikan penghalang untuk berkhidmat pada masyarakat, khususnya untuk syiar Islam di wilayah Batursari. Sepulang mengemban tugas sebagai guru negeri, beliau petang hingga malamnya menggelar ta’lim ilmu agama pada anak-anak serta warga Batursari dan sekitarnya.
Perjuangan syiar agamanya ini dimulai sejak awal Kyai Tadjri ditugaskan mengajar sebagai guru negeri sekolah dasar di Batursari hingga akhir hayatnya. Beliau tidak hanya mengorbankan waktu dan tenaganya saja untuk syiar agama, bahkan harta benda pun beliau tasorrufkan untuk menopang pengembangan perjuangannya. Salah satunya beliau mewakafkan sebagian tanah yang dimilikinya untuk Madrasah Diniyyah dan mengorbankan sebagian hartanya untuk pembangunan awal gedung madrasah yang kemudian perluasannya dibantu masyarakat.
Dalam pengembangan pendidikan diniyyah KH Tadjri dibantu oleh ulama lainnya yakni KH Zaenudin yang merupakan keponakan dan juga adik iparnya. Selain itu, beliau juga dibantu Kyai Mukhlisin yang juga mantan kepala desa Batursari.
Selain membangun Madrasah, Kyai Tadjri juga menggelar ta’lim Qiroat al Qur’an untuk anak-anak di sekitar rumahnya dan ta’lim ngaji jiping untuk masyarakat umum di Masjid Tundagan Batursari yang merupakan Baitullah yang dibangun dari wakaf keluarga istrinya. Di kemudian hari, anak-anak dan warga masyarakat dari luar Batursari seperti desa Siremeng, Pagenteran, dan Clekatakan juga banyak yang datang untuk mengaji pada beliau.
Kyai Tadjri selain sebagai ulama tarbiyah (pendidik), beliau juga dikenal sebagai kyai ahli hikmah dan sering dimintai suwuk-an oleh berbagai kalangan masyarakat. Bahkan, beberapa pejabat pun dikatakan pernah sowan pada beliau untuk minta suwuk doanya. Dalam melayani masyarakat ini seolah tidak kenal waktu, kapan pun ada yang minta tolong atau datang sowan, beliau melayani dan menerimanya dengan tangan terbuka tanpa pandang bulu, baik masyarakat biasa mau pun pejabat.
Pada perjalanan hidup perjuangannya Kyai Tadjri juga aktif di dunia politik. Beliau pernah diminta menjadi calon legislatif (caleg) dari Golkar pada era orde baru dan PKB pada era reformasi. Namun demikian, dalam berpolitik beliau tidak pernah memaksakan pilihan politiknya pada para santri dan masyarakat yang diemongnya. Bahkan, beliau pun akrab dan aktif berkomunikasi dengan ulama Batursari yang berbeda pandangan politiknya, seperti Kyai Abdul Rahim yang dikenal sebagai salah satu ulamanya PPP wilayah Pulosari.
Pada 23 Maret 2014, KH Tadjri meninggal dunia. Beliau kemudian dimakamkan di tanah milik keluarganya yang terletak tidak jauh dari rumah dan majelis ta’limnya. Setiap tahun, santrinya pun menginisiasi untuk menggelar Haul peringatan wafatnya sebagai tanda dan penghormatan akan jasa-jasa perjuangannya. Wallahu’alam
Lahu…. Al Fatihah
Oleh : Abdul Azis Nurizun (Founder PP Babussalam Yayasan Semesta Ilmu Nurul Iman dam Ketua PW FKDMI jawa Tengah)