Kang Mashoid, Digitalpreuner dari Banyumudal Pemalang

Publika1132 Dilihat

MEDIASI – Saya sangat kagum dengan visi hidupnya. Capaiannya saat ini menunjukkan titik poin yang selama ini menjadi impiannya. Pandangan hidupnya adalah fokus pada passion yang diminati, hasilkan karya dari itu. Agar fokus itu tetap kokoh pada rel impian maka cintailah aktivitas itu. 

Karya, apapun itu jika mengandung nilai yang positif akan bertemu dengan siapa yang membutuhkan. Jalan menuju itu akan disiapkan oleh Gusti Pengeran setelah seberapa pantas kesiapan diri sebagai kreator. Demikian ilmu yang saya dapat dari anak muda sukses asal pedukuhan Sikucing, desa Banyumudal, Pemalang.

Saya memanggilnya Kang Mashoid. Semula ia berkarir di dunia pendidikan sebagai guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Kecintaannya pada anak-anak mendorong semangatnya menjadi guru yang kreatif. Bagi kang Mashoid, pendidikan merupakan tempat agar anak memunculkan berbagai bentuk kreativitas tanpa ada pembatasan apapun. Anak harus tumbuh menjadi dirinya sendiri, tak usah diintervensi terlalu dalam oleh guru. Unsur-unsur dalam sistem persekolahan jangan jadi pengekang inovasi anak-anak. Pandangan kang Mashoid di dunia pendidikan ini benar-benar perlu diperhatikan.

Saya sungguh-sungguh salut pada keuletannya menggali kemampuan dirinya hingga pada titik maksimal. Dan kemampuan itu ia curahkan sepenuhnya pada anak didiknya. Saat saya berkunjung ke rumahnya, kang Mashoid mempraktikkan kebolehannya dalam mendongeng. Saya bertepuk tangan dan sangat terpesona. Sangat unik, ia bisa meniru berbagai macam suara. Suara kakek-kakek, suara nenek-nenek, suara anak kecil, juga suara binatang. Sungguh-sungguh guru yang patut diteladani. Saya yakin muridnya pasti gembira memiliki guru seperti kang Mashoid ini.

Sayang, itu semua kisah masa silam. Tuntutan hidup pada realita kadang tak seindah pada layar mimpi. Bukan rahasia, menjadi guru di Indonesia adalah kata lain dari masa depan yang tak menjanjikan. Mau kreatif atau biasa-biasa saja, kesejahteraannya sama saja. Apalagi hanya sebagai guru PAUD di kampung. Sebulan mengantongi gaji 500 ribu itu sudah terlalu tinggi. Gaji di bawah itu adalah hal biasa.

Setelah mengenal dunia Digital Marketing, meski visi hidupnya tak berubah, tapi jalurnya berpindah. Ia menggeluti dunia bisnis di wilayah teknologi informasi. Kecakapannya membuat desain logo bertemu dengan pasar (permintaan) yang luas sementara ketersediaan (suplai) karya logo itu masih sedikit. Kang Mashoid pun memutuskan keluar dari dunia pendidikan. Ia mengubur sementara idealismenya di dunia pendidikan hingga waktu yang belum bisa dipastikan.

Hal yang luar biasa adalah segmen pasar produk yang dihasilkan oleh kang Mashoid bukan di Indonesia melainkan untuk memenuhi permintaan di luar negeri. Saya kembali mendapatkan pelajaran berharga. Rupanya, penghargaan terhadap karya desain tidak dihargai serius oleh masyarakat kita. 

Ambil contoh, saat kita mau cetak spanduk, yang dibayar adalah biaya mencetaknya. Sementara jasa desainnya tak sungguh-sungguh dihargai. Padahal, di negara-negara maju, karya seperti ini diapresiasi dengan penghargaan yang layak. Sehingga percetakan untung, karya desain pun berharga.

Dengan jumlah permintaan yang sangat banyak, toko online produk karya desainnya kebanjiran pembeli, yang semuanya dari luar negeri, khususnya pasar Amerika dan Eropa. Maka, kang Mashoid mulai mengkader anak-anak muda Pemalang yang punya bakat membuat desain atau barangkali yang biasa menggambar, membatik, dan corat-coret berbagai genre, untuk diarahkan dan dibimbing memproduksi karya-karya desain yang unik dan punya nilai bisnis yang patut. 

Sekarang, toko online miliknya sudah bertambah. Karya desainnya tak lagi hanya menjual produk logo tapi desain-desain lain sesuai permintaan pasar. Untuk itu, silakan anak-anak muda Pemalang dan sekitarnya, jika ingin mengikuti jejak kang Mashoid agar sukses seperti dia, kang Mashoid sangat terbuka untuk berbagi ilmu. Atau, mungkin bisa bekerja sama sebagai mitra bisnis dan lain sebagainya. Datang saja ke pedukuhan Sikucing, desa Banyumudal, Pemalang.

Oleh : Muhammad Dhofier (Penulis Buku ‘Sekolah yang Menumbuhkan’)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *