KH Abdusyakur Karangbrai, Mursyid Qodiriyyah Naqsabandiyah yang ‘Membumi’

Ensiklopedi1092 Dilihat

MEDIASI – Desa Karangbrai merupakan salah satu desa di kecamatan Bodeh Pemalang yang dikenal agamis sejak dulu. Desa ini disebut sebagai ‘Kauman’ (kota santrinya) wilayah kecamatan Bodeh. Di Karangbrai, paling tidak terdapat tiga makam tokoh Islam yang di ‘kramat’kan warganya, yakni makam/petilasan Syeikh Jambu Karang, Syeikh Bogajati dan KH Abdusyakur.

Konon desa Karangbrai, sebelum kedatangan Syeikh Jambu Karang dan Syeikh Bogajati, dulunya merupakan kawasan hutan angker. Sejarah keberadan desa Karangbrai seperti dikutip dari laman karangbrai.desa.id, penduduk desanya yang bermukim saat ini dulunya merupakan warga pendatang dari desa luar wilayah Karangbrai, seperti desa Kesesi (Pekalongan), desa Wonogiri (Ampelgading), desa Sukowati (Ampelgading) dan desa sekitarnya.

Namun syiar agama Islam masuk ke Karangbrai, seperti dikutip dari rilasah sejarah KH Abdusyakur, dibawa dan tersebar  berkat dakwah tokoh ulama atau wali dari wilayah Kesesi. Tokoh wali tersebut adalah Mbah Ki Ageng Cempaluk, Ki Ageng Nuruzaman,  Mbah Mohammad Ashral (Mbah Wali Gendhon), dan Mbah Mahalli Kesesi. Dari merekalah Karangbrai menjadi kampung yang nuansa Islamnya jauh lebih berkembang kemudian menurunkan para pemimpin dan tokoh-tokoh ulama Karangbrai hingga saat ini.

Silsilah Nasab dan Sanad Keilmuan KH Abdusyakur

KH Abdusyakur dilahirkan di desa Karangbrai pada tanggal 4 Juli 1942 M / 19 Jumadil Akhir 1361 H. Beliau merupakan putra dari pasangan Kiai Zaenal Abidin dan Nyai Muniroh binti Dawud. Dari catatan silsilah keluarga, nasab KH Abdusyakur tersambung sampai ke Mbah Mahalli Kesesi hingga Syeikh Maulana Ishaq.

KH Abdusyakur sejak kecil telah ditempa ilmu pengetahuan agama dari kedua orang tuanya. Setelah belajar al-Qur’an kepada ayahnya, beliau kemudian melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren Luhur Dondong Mangkang Semarang selama 5 tahun dibawah pengasuhan KH.Masqom bin Kiai Ahmad bin Kiai Abdullah Bulqin.

Kemudian, beliau pendidikannya di pondok Salafiyah Banyuurip Pekalongan yang diasuh KH Zainal Abidin bin KH.Dimyati. Di sini, KH Abdusyakur remaja mempelajari berbagai didiplin ilmu agama, seperti Tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain.

Diceritakan, sejak menimba ilmu di pondok pesantren Banyuurip, KH Abdusyakur remaja sering melakukan berbagai tirakat dan salah satunya yaitu tidak makan nasi selama 3 tahun dan sering berpuasa. Beliau juga pernah puasa hanya makan pisang dan lombok saja. Riyadahnya ini beliau jalani bertahun-tahun.

Selain dua pesantren di atas, beliau juga diketahui bergurun nyantri dan menimba ilmu ke berbagai Kiai Khas di wilayah Jawa seperti KH Ahmad Muthohar bin Abdurrahman bin Qoshidil Haq Mranggen, KH Bisri Mustofa Rembang dan KH Mudzakir Simbang Kulon.

Setelah hampir 15 tahun lebih belajar menuntut ilmu dari pesantren satu ke pesantren lainnya, beliau kemudian pulang kampung halamannya dan berkhidmat kepada ibunya yang waktu itu sudah sepuh.

Mursyid Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah Kabupaten Pemalang

KH Abdusyakur dikenal sebagai salah satu mursyid thoriqoh mu’tabaroh di wilayah Kabupaten Pemalang yakni Thoriqoh Qodiriyah Naqsabandiyah. Sanad Thoriqah Qodiriyah Naqsabandiyah diperolehnya secara langsung dari KH Ahmad Muthohar bin Abdurrahman bin Qoshidil Haq mranggen dari Abu Al Faidh’ Alam Ad Diin Muhammad Yasin bin Isa Al Fadani

Beliau kemudian mulai menyebar luaskan Qodiriyah Naqsyabandiyah di Pemalang dan sekitar sesuai tugas dan amanah gurunya sejak masih berusia 35 tahun pada sekitar tahun 1397 H/1977 M hingga akhir hayatnya. Bertahun-tahun dengan perlahan-lahan pada tahun 1404 H/1984 M, beliau pun kemudian membangun sebuah pondok Pesantren dengan nama “Al Ma’hadul Islami As Salafi’ atau dikenal Pesantren Assalafi I’anah Futuhiyyah Karangbrai. Pesantren yang beliau dirikan saat ini dilanjutkan  dan diasuh oleh putranya Kiai Hammam Haris.

Perjuangan dan Kepribadian KH Abdusyakur

KH Abdusyakur tidak hanya berjuang syiar agama Islam di Karangbrai saja. Beliau juga berdakwah di wilayah Kabupaten Pemalang bersama tokoh-tokoh Ulama se-Pemalang melalui organisasi NU sejak pulang dari pesatren. Khidmahnya di NU cukup lama, sehingga namanyapun tidak asing lagi ditelinga setiap warga di Pemalang. Bahkan beliau pun pernah menjadi Rois Syuriah NU Kabupaten Pemalang. Selain itu, pada zaman G30S/PKI, beliau juga dikenal sebagai tokoh yang ikut berjuang menumpas pemberontakan komunis di Pemalang.

Sebagai sosok ulama, KH Abdusyakur dikenal sebagai pribadi yang istiqomah. Para santri menjadi saksi keistiqomahannya dalam hal ubudiyah. Sepanjang hayat, kecuali pada saat benar-benar udzur, beliau senantiasa melaksanakan sholat maktubah berjamaah dengan para santri. Bahkan, meski dalam kondisi sakit liver yang sudah mengerogoti tubuhnya dari kediaman menuju masjid, beliau tetap semangat, bahkan masih sempat membangunkan santri yang tidur di masjid atau sekedar mengingatkan waktu sholat jamaah.

KH Abdusyakur juga memiliki santri-santri dari berbagai kalangan. Oleh santri-santrinya, beliau dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Pemalang dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya sebagai Guru-Mursyid yang ‘Membumi’.

Selain itu, KH Abdusyakur juga dikenal sebagai pribadi yang sangat sederhana, santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahim lewat pengajian-pengajian dan forum lainnya.

Beliau juga dikenal memiliki hubungan baik dengan para ulama dan habaib, Bahkan dianggap sebagai guru bagi mereka, seperti KH Sya’ban (Pemalang), Habib Ali Al Habsyi, KH. Abdul Aziz Syahmari, KH. Farihin dan lain-lain. Termasuk di antara para ulama tersebut  sering mengkaji kitab Manba’u ushulilo hikmah, Al Adzkar an Nawawi dan Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik pada beliau.

Disamping mursyid dan pengasuh pesantren, beliau juga merupakan imam besar Masjid Jami Sabilurrohman Karangbrai. Sehari-harinya ia juga mengampu pengajian kitab-kitab salaf. Beliau dikenal sebagai pemerhati Kitab salaf dan suka munadhoroh membahas berbagai disiplin ilmu, diantara kitab nahwu, shorof (tata bahasa), aqidah (ketahuidan), akhlak (budi pekerti), fiqih (hukum Islam), tafsir, hingga mawaris (tentang pembagian warisan).

Dalam hidupnya, KH Abdusyakur disebut telah melalui tingkatan amalan riyadloh yang sangat tinggi, mulai dari amalan membaca Al-Qur’an Hizib, ilmu Hikmah, ilmu thibbiyah dan Shalawat. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Syaikh Abdul Qodir al Jilany yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan muridnya. Selain itu, ada juga amalan shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan lain-lainnya.

Pada hari Selasa 25 Robi’ul Akhir 1427 H./ 23 Mei 2006 sekitar pukul 09.00 WIB, KH Abdusyakur menghembuskan nafas terakhirnya dalam tenang, beliau wafat dan dimakamkan selepas shalat dhuhur di makbaroh Karangbrai. Walallahu’alam. Lahu… Al Fatihah

Oleh : Abdul Azis Nurizun (Founder PP Babussalam Yayasan Semesta Ilmu Nurul Iman dan Ketua PW FKDMI Jawa Tengah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *