MEDIASI – Mendelem merupakan nama desa yang terletak di Kabupaten Pemalang bagian selatan dan merupakan desa yang terluas serta jumlah penduduknya paling banyak di wilayah kecamatan Belik Pemalang. Hampir semua desa yang ada di wilayah kecamatan Belik yang berjumlah 12 desa, berbatasan dengan desa Mendelem, kecuali Desa Badak, Gombong dan Kalisaleh.
Nah, bicara Desa Mendelem tidak bisa lepas dari situs yang juga menjadi destinasi wisata dan spiritual desa tersebut, yakni Bukit atau “Gunung Jimat”. Konon, di Gunung Jimat terdapat makam atau petilasan para keturuan raja dan wali.
Menurut cerita rakyat, di gunung yang tingginya mencapai ketinggian 1.450 mdpl ini terdapat makam seorang Raja Jawa bernama Rahiyangta Panaraban. Di sana pula konon terdapat petilasan Damar Wulan dan Raden Patah.
Di Gunung Jimat Mendelem ini pun diyakini sebagian masyarakat terdapat berbagai pusaka yang terpendam secara ghaib. Sehingga, tidak aneh para pemburu ‘harta karun’ pesugihan dari manca daerah banyak berdatangan hanya bersemedi mencari ‘wangsit’ untuk mendapatkan benda pusaka tersebut.
Namun demikian, selain sebagai tempat ‘wingit’ kegiatan spiritual, beberapa tahun belakangan ini Gunung Mendelem pun dijadikan destinasi wisata petualangan alam. Beberapa spot petualangan itu di antaranya camping ground, flying fox, spot gardu pandan dan spot swafoto. Selain itu, tempat ini punya wahana via verrata tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Gunung Parang, Purwakarta Jawa Barat.
Mengenal Mbah Kiai Muin ; Sisi Lain Jimat Mendelem
Namanya Mbah Muin, sebagian masyarakat Mendelem juga menyebutnya Mbah Abdul Muin. Seorang Kiai desa yang lahir di Dusun Karanganyar Desa Mendelem pada 1 Januari tahun 1938 dari pasangan Mbah Caryan dan Nyai Taryamah.
Dilihat dari topografi Mendelem saat ini, termasuk dimana mbah Kiai Mu’in berada, pada saat itu kondisi lingkungan masyarakatnya kebanyakan masih ‘buta agama’. Karena ia hidup di pedalaman Mendelem yang kondisi sosio-kulturalnya masyarakat hidup di tengah-tengah hutan perbukitan. Sehingga, saat penulis menelusuri jejak-jejak perjalanan hidup beliau dari kecil hingga dewasa tidak menemukan data baik tertulis mau pun tutur cerita, karena saat itu diperkirakan kebanyakan masyarakatnya mayoritas masih buta baca-tulis.
Menurut penuturan anak sulungnya, Muflikhin, Mbah Mu’in hingga usia dewasa bermukim di Dusun Karanganyar dan baru pindah ke Dusun Mendelem ketika berumahtangga dengan seorang gadis bernama Suniti dan berdakwah syiar agama Islam di dusun tersebut setelah menikah.
Pada usia muda, Mbah Muin berangkat menuntut ilmu pertama kalinya ke Banyumudal Moga dan berguru pada Kiai Tartib cukup lama. Kemudian, ia pindah berguru ke Pesantren Sokawera Kalijaran Purbalingga asuhan Kiai Hisyam.
Sepulang dari Pesantren, mbah Mu’in kemudian merantau ke Pandeglang Banten dan Palembang Sumatera selama hampir 2 tahun. Namun sayangnya, kepergian ia merantau tidak diketahui dalam rangka menuntut ilmu lagi atau berdakwah atau berdagang layaknya zaman itu kebanyakan para santri setelah pulang dari pesantren punya usaha, baik bertani mau pun berdagang.
Setelah kepulangannya dari merantau, mbah Mu’in kemudian menikah dan mulai syiar dakwah di Mendelem dimana istrinya tinggal. Dusun Mendelem pada saat itu, menurut penuturan keponakannya Haji Narko, merupakan ‘wilayah hitam’ dan terkenal sebagai daerah yang tidak mengenal nilai-nilai ajaran agama. Dimana, kemaksiatan dan kefasikan masih merajalela, mulai dari budaya ‘molimo’ kumpul kebo, madon, maling sudah menjadi kebiasaan.
Sejak kedatangan Mbah Mu’in di daerah Mendelem, masyarakatnya mulai sadar dan mengenal ajaran-ajaran agama dan etika yang disyiarkannya. Ia mulai membangun Mushola didekat rumah istrinya sebagai sarana sentral dakwahnya. Kemudian membangun masjid yang bernama Masjid Jamiatul Mu’minin dan dua Langgar/Mushola di kitaran Dusun Mendelem.
Ada pun metode yang diajarkan Mbah Mu’in penekanannya lebih pada mengajarkan dasar-dasar ilmu fikih, terutama bidang ubudiyyah. Ia mengajar setiap ashar untuk anak-anak dan ba’da maghrib hingga isya untuk orang-orang tua. Setiap minggu sebelum pelaksanaan sholat Jum’at, ia pun mengajarkan ilmu-ilmu dasar agama dan kemasyarakatan.
Menurut masyarakat yang mengetahui perjalanan dakwah Mbah Mu’in, ia selalu menyampaikan ajaran agama yang sederhana yang mudah dipahami dan dilaksanakan masyarakat. Selain ajaran keagamaan, ia juga menggerakkan masyarakat sekitarnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial seperti pembuatan sarana pertanian, sanitasi air bersih bahkan juga mendorong pembuatan sarana olahraga (membuat lapangan bola).
Sementara dalam bidang politik, ia dikenal aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dimana saat itu merupakan organisasi politik representasi umat Islam. Namun demikian, di lingkungan masyarakatnya, ia tidak pernah memaksakan pilihan politiknya untuk diikuti. Padahal, karena keaktifannya di partai, ia berulang kali diintimidasi baik secara fisik mau mental oleh aparat militer dan partai penguasa saat itu.
Lazimnya tokoh agama atau kiai saat itu, Mbah Mu’in pun sering dimintai pertolongan ‘sababiyah atau mengobati’ masyarakat yang sedang sakit. Ia pun terkenal mempunyai ilmu hikmah yang mampu membersihkan tempat-tempat yang wingit dan terkenal angker. Yang menarik, setiap dimintai pertolongan pengobatan atau tausiyah nasihat, ia selalu memberikan resep sederhana yaitu untuk selalu menjaga wudhu dan dzikir malam.
Pesan untuk selalu menjaga wudhu dan dzikir malam, terutama ketika sedang menghadapi persoalan kehidupan, ini juga menjadi wasiat Mbah Mu’in yang disampaikan untuk dijalankan oleh anak-anak dan keluarganya sebelum ia tutup usia (wafat) pada tanggal 28 Juni 2010. Wallahu’alam bishowab
Oleh : A Azis Nurizun (Founder Yayasan Semesta Ilmu Nurul Iman)