MEDIASI – Di tengah kemajuan zaman yang ditandai oleh teknologi serba cepat, globalisasi, dan modernisasi gaya hidup, ada satu dunia yang tetap lestari dan bahkan mengalami perkembangan tersendiri—dunia ayam petarung. Bagi sebagian besar masyarakat urban yang tumbuh dengan gawai dan kehidupan digital, dunia ini mungkin terasa asing, bahkan dianggap kuno. Namun bagi para “pecinta ayam petarung”, ini bukan hanya soal hobi atau kebiasaan turun-temurun. Ini adalah panggilan jiwa, warisan darah, dan wujud cinta terhadap makhluk hidup yang memiliki nilai filosofi yang dalam.
Ayam petarung bukan fenomena baru. Dalam sejarah peradaban kuno, laga ayam telah ditemukan dalam berbagai bentuk dan konteks. Di India kuno, catatan tentang cockfighting (adu ayam) muncul dalam kitab-kitab Veda. Di Yunani dan Romawi, sabung ayam dianggap sebagai sarana hiburan sekaligus pelatihan mental bagi prajurit muda, sebagai simbol ketangguhan dan keberanian.
Di Nusantara sendiri, ayam petarung telah lama menjadi bagian dari kebudayaan lokal. Dalam mitologi Jawa, ayam sering dihubungkan dengan kekuatan spiritual. Ayam jantan disebut sebagai simbol perlawanan terhadap kegelapan, karena ia berkokok saat fajar, menandakan datangnya cahaya. Laga ayam, di banyak kebudayaan Indonesia, bukan semata pertarungan, tetapi ritual—baik sebagai bentuk persembahan, maupun sebagai ajang unjuk ketangkasan dan kehormatan antar warga.
Hubungan antara manusia dan ayam petarung lebih dari sekadar relasi pemilik dan hewan peliharaan. Banyak pecinta ayam petarung yang memperlakukan ayam-ayamnya seperti anggota keluarga. Mereka paham karakter masing-masing ayam, dari sifat agresif hingga jinak. Setiap ayam punya nama, punya cerita, dan punya sejarah hidup yang dikenal secara personal oleh pemiliknya.
Ada semacam keterikatan emosional yang dalam. Tak jarang, pemilik merasa sedih luar biasa ketika ayam andalan mereka terluka, bahkan gugur dalam laga. Ini bukan relasi transaksional. Ini adalah bentuk kasih sayang yang diungkapkan dalam versi yang berbeda—melalui perawatan, latihan, dan dukungan.
Seorang pecinta ayam petarung bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk memandikan ayamnya, mengurut otot-ototnya, menjemurnya dengan hati-hati, memberi jamu dan ramuan tradisional demi menjaga stamina. Ini adalah bentuk dedikasi yang tidak kalah dari pelatih atlet profesional.
Dunia ayam petarung juga adalah dunia sosial. Gelanggang laga bukan hanya tempat pertarungan ayam, tetapi juga tempat berkumpul, berdiskusi, berjejaring, bahkan berpolitik lokal. Di banyak desa, sabung ayam menjadi arena informal yang mempertemukan berbagai kalangan—petani, pedagang, pemuda, hingga tokoh masyarakat.
Laga ayam juga menjadi simbol maskulinitas tradisional. Dalam banyak budaya patriarkal, kemenangan ayam milik seseorang menjadi lambang kekuatan, status, dan harga diri. Di sinilah kita bisa melihat bagaimana ayam petarung mewakili lebih dari sekadar hewan—mereka adalah proyeksi dari harapan dan kebanggaan pemiliknya.
Namun, dalam konteks modern, dimensi ini mulai dikaji ulang. Identitas maskulinitas yang melekat pada kekerasan atau dominasi mulai ditantang oleh nilai-nilai baru yang lebih seimbang dan humanis. Inilah titik temu antara tradisi dan perubahan zaman.
Tentu tak bisa dipungkiri bahwa adu ayam menyimpan sisi gelap. Kekerasan fisik antar ayam, praktik taruhan ilegal, serta potensi eksploitasi hewan menjadi bahan kritik utama dari kelompok pecinta binatang dan aktivis hak hewan.
Mereka menilai bahwa melibatkan hewan dalam pertarungan demi hiburan atau keuntungan ekonomi adalah tindakan yang tidak etis. Seiring meningkatnya kesadaran akan kesejahteraan hewan (animal welfare), banyak negara—termasuk Indonesia—telah melarang sabung ayam di luar konteks adat dan budaya tertentu.
Namun, larangan hukum tidak serta-merta menghapuskan tradisi. Di banyak tempat, laga ayam masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau dalam bentuk lain yang lebih terselubung. Perdebatan ini menyisakan pertanyaan besar: apakah mungkin memisahkan nilai budaya dari praktik kekerasan?
Menariknya, banyak komunitas pecinta ayam petarung kini mulai berevolusi. Mereka mencari bentuk ekspresi baru yang tidak bertentangan dengan nilai etika modern. Misalnya, kontes ayam petarung berdasarkan penampilan fisik, postur tubuh, warna bulu, hingga gaya berjalan. Lomba-lomba semacam ini kini banyak digelar tanpa unsur pertarungan, namun tetap menjunjung estetika dan kualitas genetika.
Selain itu, muncul juga komunitas breeder (peternak) ayam petarung yang fokus pada pengembangan ras unggul untuk koleksi atau kontes. Dengan cara ini, nilai-nilai tradisional tetap dijaga, tetapi kekerasan dapat dikurangi atau dihilangkan.
Media sosial menjadi sarana penting dalam transformasi ini. Lewat YouTube, Instagram, dan Facebook, para pecinta ayam bisa berbagi informasi, edukasi, dan inspirasi tentang dunia ayam petarung tanpa harus menampilkan kekerasan. Narasi yang mereka bangun adalah narasi cinta, perawatan, dan pelestarian.
Cinta terhadap ayam petarung bukan cinta yang mudah dimengerti oleh semua orang. Ini adalah cinta yang lahir dari tradisi, dari warisan nenek moyang, dari interaksi harian yang tidak terlihat oleh mata luar. Ia adalah bentuk cinta yang kompleks—kadang dibalut kekerasan, kadang penuh kelembutan, namun selalu hadir dengan ketulusan.
Sebagaimana semua warisan budaya, dunia ayam petarung harus terus direfleksikan, dikritisi, dan diperbaharui. Tradisi tidak selalu harus dihapuskan; ia bisa ditransformasikan. Pecinta ayam petarung masa kini punya tugas penting: menjaga jiwa dari apa yang mereka cintai, tanpa mengabaikan nilai-nilai baru yang lebih manusiawi.
Pecinta ayam petarung bukan sekadar penggemar hewan. Mereka adalah penjaga satu segmen sejarah budaya yang panjang, kompleks, dan kaya makna. Dalam cinta mereka terhadap ayam, tersimpan banyak pelajaran tentang ketekunan, loyalitas, kehormatan, dan identitas.
Namun cinta yang sejati juga adalah cinta yang mampu berubah dan tumbuh. Di tengah dunia yang semakin sadar akan etika dan empati, pecinta ayam petarung punya peluang untuk membuktikan bahwa kecintaan mereka bukan bertentangan dengan kemanusiaan, melainkan justru bagian dari upaya memperkaya nilai-nilai budaya yang ada.
Semoga suatu hari nanti, dunia bisa melihat ayam petarung bukan hanya sebagai simbol kekerasan, tetapi juga sebagai jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara tradisi dan kemajuan, antara cinta dan kebijaksanaan.
Oleh : Muamar Kadavi (Mahasiswa UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan)