Belajar Bukan untuk Ranking Satu

Opini959 Dilihat

MEDIASI – Di era penuh keterbukaan ini, banyak orang tua, tak sedikit pula guru yang sudah memahami bahwa meraih ranking satu bukanlah tujuan yang istimewa lagi seperti dulu. Kenyataan itu tak berarti bahwa demam ranking satu itu sirna. Sebabnya adalah banyak sekolah yang memang masih menerapkan sistem begitu.

Kontradiksi semacam ini bagi saya membingungkan. Sama halnya dengan orang tua yang telah mengerti betul kalau anak-anak belum saatnya berkendara sepeda motor, tapi malah memberikan fasilitas kendaraan itu dengan alasan yang dalam benak saya aneh, yaitu agar tak merepotkan sang orang tua.

Juga tentang kekuatan membaca para murid, pendidik mana yang belum tahu bahwa prestasi membaca anak didik kita sangat memprihatinkan. Sayangnya, mereka juga tak beranjak berubah. Pola belajar yang mengutamakan hapalan masih saja dilakukan. Kapasitas membaca teknis tak berlanjut dengan kemampuan membaca fungsional. Asumsinya, apabila sudah bisa membaca teknis maka membaca secara fungsional itu niscaya. Padahal tak demikian sejatinya.

Belum lagi perihal disiplin. Tuntutan sekolah (juga tuntutan guru) meminta anak murid supaya patuh pada aturan disiplin. Misalnya, mereka diwajibkan masuk ke kelas sesuai waktu yang telah ditetapkan. Sementara itu, tak sedikit, guru yang masuk ke kelas terlambat. Padahal, dalam ajaran mulia terkait pendidikan, Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa seorang guru, dalam kapasitasnya sebagai pemimpin para murid, tugasnya adalah “Sung Tuladha”, menyajikan contoh, bukan menginstruksi.

Barangkali, persoalan pendidikan di Indonesia, titik krusialnya bukan pada kurikulum. Tapi bagaimana pendidik, sebagai garda terdepan dalam membimbing anak murid memiliki penghayatan makna belajar sebagai sebuah proses memanusia. Dengan begitu, tagihan-tagihan pencapaian bukan hanya milik siswa melainkan sebagai proses bersama seluruh warga belajar.

Pesan Ki Hajar Dewantara sangat terang, hakikat pendidikan adalah tuntunan, menggali seluruh potensi kebaikan pada diri anak agar menjadi manusia seutuhnya yang selamat dan meraih kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Petuah ini menyelipkan pesan bahwa murid dan guru adalah sama-sama pembelajar. Proses saling belajar itulah sejatinya mengarah pada tujuan menjadi manusia seutuhnya.

Hal ini juga berlaku di rumah. Dalam lingkup keluarga, seluruh proses interaksi dalam rumah tangga merupakan bagian dari pendidikan. Maka hubungan saling belajar, saling melengkapi, dan saling mendukung hendaknya mewujud di dalamnya.

Belajar Bertujuan Menjadi Diri Sendiri

Dengan demikian, proses belajar, baik di sekolah maupun di rumah mestinya melahirkan rumusan bahwa belajar bukan untuk mengejar capaian yang dangkal. Sekadar untuk meraih ranking satu atau memenangi lomba dalam sebuah perayaan tertentu. Belajar adalah proses terus-menerus tanpa henti sejak dalam buaian hingga titik akhir usia. Tujuannya adalah menjadi manusia seutuhnya. Nasihat Ki Hajar Dewantara, supaya selamat dan mendapatkan kebahagian paripurna.

Perjalanan panjang kehidupan, sayang kalau hanya dilewati dengan rutinitas yang mengelabui makna. Sungguh pendek hidup ini, misalnya, kita makan hanya menginginkan kenyang. Apa salahnya? Tentu tak ada salah sama sekali. Tapi kemudian kita harus kehilangan makna ‘makan’ itu.

Kembali pada fokus tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa, dalam pendidikan, proses belajar sebaiknya diarahkan pada tujuan yang hakiki. Yaitu menjadi diri sendiri. Penerimaan diri atas segala kelebihan juga kelemahan. Dengan mengenal diri, kita seraya berdoa kepada Tuhan, semoga diberikan kekuatan untuk berkarya sesuai potensi kelebihan yang melekat, dikaruniai kemampuan untuk mengatasi kelemahan yang masih bisa diubah, juga diberikan rasa syukur dan kekuatan sabar dalam menerima kelemahan yang sifatnya tetap. Tak lupa, mampu mengambil hikmah atas kelebihan dan kekurangan tersebut.

Dalam kaitan itu, ketika kita sendiri yakin bahwa ranking satu bukanlah satu-satunya ukuran prestasi siswa maka saya sangat mengusulkan untuk sekolah-sekolah yang masih memberlakukan konsep itu berhenti. Hal itu tak ada gunanya sama sekali selain hanya mengukuhkan bahwa yang tak pernah mendaki di puncak prestasi itu merasa bodoh. Terlebih pemeringkatan nilai semacam itu memanggungkan persaingan alih-alih mengarusutamakan kolaborasi dalam pembelajaran.

Alhasil, pijakan pemaknaan ini, belajar sebagai proses memanusia, memunculkan inspirasi keberanian. Ketegasan untuk meninggalkan sistem mengurutkan nilai untuk memosisikan orang tertentu sebagai paling hebat, karena sesungguhnya semua siswa pada dasarnya adalah hebat, dalam area potensinya masing-masing. Mereka semua adalah ranking satu dalam keunggulannya masing-masing.

Oleh : Muhamad Dhofier (Peneliti Natura College, Penulis Buku “Sekolah yang Menumbuhkan”).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed