Dakwah, Eksklusivisme, dan Keterlibatan Sosial

Publika1180 Dilihat

MEDIASI – Pada dasarnya mata manusia tidak bisa melihat tanpa cahaya yang menyebar di matanya, atau pada benda-benda di sekelilingnya. Apabila cahaya itu terlalu redup, maka semua bentuk akan menjadi samar. Apabila cahaya itu terlalu terang, mata kita tak akan melihat semuanya dengan baik.

Ketika mata menemukan cahaya, bukan lantas bertugas hanya sebagai melihat, tetapi lebih dari itu; memperhatikan, membaca, dan merasakan apa yang dapat kita tangkap selain wujud material. Ini menunjukkan bahwa keseimbangan merupakan cara pandang yang penting untuk memahami dinamika kehidupan.

Coba bayangkan; ketika seseorang dalam ruang gelap, dan tiba-tiba ada cahaya yang menyorot ke matanya dengan jarak satu jengkal. Apa hal pertama yang dilakukan orang itu? Ya. Terpejam. Kalau tidak percaya, silakan Anda praktikkan.

Hal ini sama dengan saat seseorang sedang dilingkupi keburukan. Ketika kita mempergunakan tutur kata yang tidak tepat sesuai bahasa, waktu, dan keadaan, mereka jelas akan menutup pikiran dan hati dari berbagai macam nasihat. Maka gunakanlah cahaya yang ada dengan porsi yang paling tepat dengan pengamatan yang mendalam—inilah pentingnya keseimbangan.

Meminjam idiom Eleanor Roseevelt—bahwa akhir-akhir ini banyak sekali fenomena eksklusivisme dakwah yang malah tidak menyalakan lilin kecil di dalam hati dan pikiran orang-orang, tetapi lebih kepada mengutuk kegelapan. Mereka menjadikan identitas keagamaan sebagai penindasan, penghinaan, atau penghancuran mental manusia.

Kalau ternyata refleksi dakwah hanya supaya mempertahankan ‘status quo’ yang anti pada perbedaan dan perubahan, jelas itu bukan nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Justru apa yang dilakukannya seperti sedang ‘nyamar ma’ruf nyambi munkar’.

Cendekia dan intelektual muslim tentu bukan Tuhan yang tak terikat ruang, waktu, dan keadaan. Oleh karenanya, mereka harus menguasai prinsip relativitas ruang, waktu, dan keadaaan. Mereka juga harus menghadirkan kesadaran, perasaan, dan pendekatan emosional pada dimensi yang lebih kompleks.

Jika manusia yang berwawasan—mempunyai pengetahuan, ilmu, dan pemahaman tentang kebenaran serta kebaikan Islam—hanya menerapkan apa yang sudah di dapat, tanpa mempertimbangkan keterlibatan sosial yang jauh lebih detail; maka dakwah hanya akan menjadi sarana eksploitasi kemanusiaan berkedok realitas agama yang tak tergugat.

Menyeru manusia kepada keselamatan bukanlah permainan kecerdasan akal yang dapat dibanggakan ketika kita bisa lebih unggul dari orang lain (practical intelligence), karena Islam bukan berarti menyelamatkan diri sendiri, tapi juga menyelamatkan orang lain, dan mencari keselamatan bersama.

Menjadi penyeru adalah menyampaikan pengetahuan tentang kebenaran atau kebaikan Islam dengan mengelaborasikan tiga dasar kecerdasan manusia; intelligence quotient, emotional quotient, dan spiritual quotient.

Salah satu sifat ilmu adalah memberi peluang selebar-lebarnya supaya manusia berada di jalan yang benar. Tugas cendekia dan intelektual muslim hanya menyampaikannya dengan tepat dan terukur. Mereka tidak menentukan nasibnya di jalan. Mereka tidak menentukan pilihan arah yang diinginkan. Mereka juga tidak dapat memastikan ‘sampai’ dan ‘tidaknya’ seseorang, karena memang mereka juga diam-diam bimbang memastikan dirinya sendiri.

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)

Oleh : Kang Ma’ruf (Penggerak Gusdurian Pemalang / Aktivis PMII Pemalang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *