KH Jamil Shidiq, Ulama Pejuang Tarbiyah di Gendowang

Ensiklopedi812 Dilihat

MEDIASI – Ki Hajar Dewantara pernah mengucapkan Pendidikan dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir.

Maka dari itu Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam lingkungan masyarakat dan lingkungan.

Ilmu pendidikan yaitu menyelidiki, merenungi tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Pendidikan adalah segala daya upaya dan semua usaha untuk membuat masyarakat dapat mengembangkan potensi manusia agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara.

Di samping itu, pendidikan merupakan usaha untuk membentuk manusia yang utuh lahir dan batin cerdas, sehat, dan berbudi pekerti luhur, Pendidikan mampu membentuk kepribadian melalui pendidikan lingkungan yang bisa dipelajari baik secara sengaja maupun tidak. Pendidikan juga mampu membentuk manusia itu memiliki disiplin, pantang menyerah, tidak sombong, menghargai orang lain, bertaqwa, dan kreatif, serta mandiri.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan baik sengaja maupun tidak, akan mampu membentuk kepribadian manusia yang matang dan wibawa secara lahir dan batin, menyangkut keimanan, ketakwaan, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab.

Biografi KH Abdul Jamil Shidiq
Beliau dilahirkan di desa Gendowang ,pada tanggal 16 maret 1918 , ayah beliau adalah KH Shiddiq Bin KH Yasin , ibu beliau adalah Nyai HJ Tarqiyyah anak dari kiai Ngali salah satu kiai yang membantu KH Armia dalam membangun pesantren Cikura Tegal.

Sedari kecil KH Abdul Jamil Shiddiq sudah di kenal sebagai pribadi yang periang, cemerlang dan tidak sombong. Beliau sedari kecil sudah terbiasa membantu kawan sebayanya untuk belajar. Bagi beliau apa gunanya pinter tetapi hanya untuk diri sendiri, lebih baik bodoh selamanya. Sifat yang menonjolkan kebersamaan, serta persaudaraan inilah yang kemudian para sahabat-sahabat KH Abdul Jamil Shidiq kecil disukai dan dicintai.

Walaupun KH Abdul Jamil Shidiq Berasal dari Keluarga terpandang, bersahaja, tetapi beliau sedari kecil tidak larut dengan hal itu. Beliau semenjak kecil rutin membantu ayahandanya yakni KH Sidiq berladang. Bagi KH Abdul Jamil Shidiq kecil berladang adalah sarana komunikasi agar dia bisa berinteraksi dengan teman-teman sebayanya.

Sedari kecil pada usia 8-12 tahun juga beliau diajarkan oleh ayahandanya sendiri dengan dasar-dasar keagamaan. Beliau juga mengaji dengan kiai dari Gendowang bernama KH Saleh.

Pada usia 13 tahun tahun 1931 beliau melanjutkan pendidikan pesantrennya di Pondok Pesantren Babakan Lebaksiu Tegal yang diasuh oleh KH Abdul Mu’thi, seorang kiai khas yang ikut berjuang mengikuti pasukan kiai Mojo dalam perang Jawa Dipenogoro. Beliau menghabiskan waktu di pesantren ini selama 2 tahun. Pada tahun 1933 beliau melanjutkan ke salah satu kiai khos Tegal bernama KH. Abdul Jalil bin KH Abdul Ghani dan KH Mubaedah di desa Kajen, Talang, Kabupaten Tegal. Beliau menghabiskan waktu di sini 3 tahun dan mendalami ilmu-ilmu alat.

Pada tahun 1935 beliau melanjutkan kembali pengembaraannya di pesantren Kempek Cirebon. Di pesantren Kempek inilah Beliau Belajar Tafsir, Ilmu Faraidh, Ushul fiqih, dan berbagai macam diskursus agama. KH abdul Jamil Shidiq berkesempatan menjadi murid dari KH Harun Abdul Jalil, Kiai Umar Saleh , KH Nashir Abu Bakar, KH Aqiel. KH Abdul Jamil Shidiq juga berkesempatan sekolah di madrasah Al Qadiem, sebuah sekolah yang mempertemukan berbagai macam santri untuk belajar fan-fan ilmu yang santri senangi. Beliau habiskan waktu selama 6 tahun di Pesantren Kempek.

Pada tahun 1941 beliau berusia 18 tahun kemudian melanjutkan Pesantren bersama Jekulo Kudus selama 7 tahun di bawah asuhan KH Yasin. Kemudian juga KH Abdul Jamil Shidiq berkesempatan berguru di bawah kiai Muhammad, KH Mujib, KH Khidir. 7 tahun beliau habiskan untuk menghafalkan al Qur’an dan pemantapan seluruh ilmu agamanya.

KH Abdul Jamil Shidiq dan “Merajut Pendidikan “
Pada tahun 1955 beliau pulang kampung ke desa Gendowang sebagai santri yang sudah sangat lama menimba ilmu di pesantren. Beliau bersama Kiai Mahalli, Haji Mufti, Haji Komarudin kala itu bahu-membahu mendidik masyarakat Gendowang. Mulai dari bahu-membahu membuat Mushola untuk kegiatan masyarakat. Sebelum menggunakan Mushola KH Abdul Jamil Shidiq sudah terlebih dahulu bersama kawan sejawatnya untuk rutin menggelar pengajian di masyarakat.

Kala itu tatanan sosial masyarakat Gendowang sudah sangat mengenal Islam, hanya saja pada generasi KH Shidiq, KH Saleh, Kiai Kurdi sudah berusia sepuh, maka generasi muda menggantikan tatanan serta pengajian yang di ampu lama oleh para generasi sepuh.

Banyak pembaruan yang dilakukan oleh KH Abdul Jamil Shidiq salah satunya beliau selalu mengajak para santrinya untuk makan bersama di dalam nampan. Beliau akan mengapresiasi seorang murid yang tekun, rajin dan cakap.

Pada tahun 1958 ketika usianya menginjak 28 tahun , beliau menikah dengan Nyai Saadah, putri KH Abdul Jalil. Hasil dari pernikahan ini kemudian dikarunia 6 orang anak.

Pada tahun 1961 beliau kemudian melanjutkan dakwahnya tidak hanya di desa Gendowang akan tetapi berdakwah juga sampai kecamatan Pulosari khususnya desa Clekatakan, Siremeng, Penakir, hingga Serang Purbalingga.

Kemudian beliau juga bersama kiai Minhaj, kiai Tartib, KH Asyqin bergantian mengisi kajian rutin di masjid Agung Kecamatan Moga. Pada tahun 1963 beliau bersama keluarga besar dari Bani Yasin kemudian mendirikan pesantren di desa Gendowang Bernama Pesantren Al-Islam. Di pesantren inilah masyarakat Gendowang, Semingkir, Penakir, Subang dan sebagian luar kabupaten Pemalang mengabdi, belajar dengan generasi KH Abdul Jamil Shidiq dan kawan-kawan sejawatnya.

Pada tahun 1967 KH Abdul Jamil Shidiq di bantu oleh Habib Abdurrahman Al Athos , Haji Mufti, kiai Fadhil, H mlMustafa, Haji Komarudin mendirikan lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiah, di mana madrasah ini menjadi lembaga formal pertama yang didirikan oleh para alim ulama serta masyarakat desa Gendowang.

Kemudian beliau juga menginiasi kegiatan Batshsul Masail di desa Gendowang , kecamatan Moga hingga kabupaten Pemalang. Beliau juga melanggengkan Dala’il selawat, Manaqib Syekh Abdul Qadir. Beliau kiai yang sangat membaur dengan masyarakat. Dengan kesibukannya yang padat beliau juga tidak meninggalkan masyarakat Gendowang. Beliau selalu bisa membagi jadwal padatnya dengan sangat menakjubkan.

Akhir hayat KH Abdul Jamil Shidiq
KH Abdul Jamil Shidiq wafat dalam Keadaan sujud selepas salat subuh, tepatnya tanggal 13 April tahun 1995. Pada malam itu Gendowang seperti biasa anak- anak mengaji membawa lampu damar ke rumah KH Abdul Jamil Shidiq.

Para orang tua melantunkan manaqib Syekh Abdul Qadir di mushola depan Rumah KH Abdul Jamil Shidiq dan para remaja sibuk menghafalkan nadzom-nadzoman di pelataran rumah KH Abdul Jamil Shidiq.

Sementara KH Abdul Jamil Shidiq seperti biasa menjalankan rutinitasnya. Pengajian ini berlangsung hingga jam 23.00 malam. Tak ada yang beda bahkan tanda-tanda. KH Abdul Jamil Shidiq tertidur sejenak kemudian pada jam 01.00 beliau akan melanjutkan salat tahajud, witir, kemudian dilanjutkan dengan membaca al Qur’an sampai jam 02.30. Kemudian beliau tertidur sejenak pada jam 03.30 bangun kembali kemudian membaca dala’il selawat, Manaqib Syekh Abdul Qadir Jaelani sampai datang waktu salat subuh.

Seperti biasa rutinitas harian beliau mengimami salat subuh selepas salat subuh kemudian beliau membaca alqur’an khususnya Surat Yasin Surat Ar-Rahman,Al-Mulk,Al- Waqiah, dan Mujadalah. Di surat Mujadalahlah tiba-tiba Sang Panutan KH Abdul Jamil Shidiq bersujud di bawah lembaran al Qur-an yang dia baca. Pada hari jum’at tanggal 14 april 1995 beliau meninggalkan desa Gendoang dengan seluruh karya peradabannya.

Semoga kisah ini menjadi contoh, menjadi perilaku bagi kita generasi muda yang Syakban waktu Syakban hari hanya menyia-nyiakan waktu demi nafsu bukan perkembangan agamanya. Wallahu’alam… Lahu. Al Fatihah

Oleh : Imam Dihlizi (Wakil Sekretaris PW FKDMI Jateng dan Penggerak Gusdurian Pemalang di Moga)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *