Pesantren dalam Kungkungan Feodalisme (?)

Opini197 Dilihat

MEDIASI – Pesantren itu feodal. Santri tunduk pada kiai, tak boleh membantah, tak boleh menatap terlalu lama. Hirarki dijaga ketat, tradisi dipertahankan, dan kata patuh dijadikan mantra suci. Begitu kata orang luar.

Lucunya, sebagian yang paling gemar menuding feodalisme di pesantren justru hidup di tengah feodalisme yang perlente, klimis, dan rapi—bahkan lebih berpendingin ruangan.

Cobalah tengok ke ruang-ruang rapat di gedung bertingkat itu. Di sana, setiap ucapan pimpinan dianggap sebagai wahyu yang tidak boleh dibantah. Setiap kalimatnya ditulis ulang dalam notulensi, diperindah dalam slide presentasi, dan dipatuhi bahkan sebelum ia selesai berbicara.

Kalau santri mencium tangan kiai karena hormat, mereka mencium tangan karena jabatan. Jika santri mengaji karena ingin paham, mereka hadir rapat karena ingin aman.

Feodalisme, rupanya, kini tak lagi bersarung. Ia kini berjas, berdasi, berpin emas, dan menulis kutipan motivasi di media sosial.

Pesantren memang punya hirarki. Ada kiai, ada ustaz, ada santri. Hal yang tidak diketahui oleh orang luar, adalah bahwa hirarki itu dibangun di atas ilmu dan ketaatan, bukan kekuasaan.

Seorang kiai dihormati bukan karena ia berkuasa, melainkan karena ia berilmu. Ia tak memerlukan jabatan untuk disegani; cukup menjadi sumber pencerahan bagi yang haus makna.

Sementara di luar sana, banyak yang dihormati hanya karena posisi, bukan kontribusi. Kita menyebut mereka “atasan”, bukan “panutan”.

Dan di situlah feodalisme modern bersembunyi—ketika posisi lebih dihargai daripada pengabdian, ketika senyum lebih penting daripada substansi, ketika lidah berbisa lebih nendang daripada karya.
Ada istilah yang amat populer: ABS—Asal Bapak Senang.

Di negeri ini, ABS menjadi kitab suci tak tertulis. Ditahbiskan di setiap rapat, mentradisi di setiap lembaga. Pasalnya sederhana: yang membuat atasan senang akan selamat, yang berkata jujur bisa tamat.

Di pesantren, santri diajak berani bertanya. Di kantor, pegawai diajari membaca suasana. Di pesantren, salah membaca Alfiyah Ibnu Malik disuruh mengulang. Sementara di kantor, salah membaca mood atasan bisa langsung kena tendang.
Feodalisme modern punya wajah ganteng nan lembut. Ia berbicara tentang kolaborasi, tetapi nyata menolak perbedaan suara. Di situ bicara tentang keterbukaan, tetapi tak siap benar-benar dikritik. Di ruang rapat tersenyum manis atas nama demokrasi, sambil menekan tombol mute pada mikrofon para pengritik.
Saya orang pesantren, tahu semua itu. Ya, kami semua tahu itu. Kita tahu banyak lembaga—baik politik, birokrasi, maupun korporasi—berjalan dengan logika feodal: siapa dekat, dia dapat. Siapa manggut-manggut, dia katut. Anda saja, pura-pura tidak tahu. Anda memilih diam, sebab Anda bagian dari itu. Dan Anda takut tersingkir.

Ketika muncul isu miring tentang pesantren, Anda cepat sekali menuding: “Lihat, betapa feodalnya mereka!”
Padahal dari rahim pesantren lahir banyak pemikir progresif, cendekiawan, dan pembaharu bangsa. Dari ruang-ruang ngaji yang sederhana itu, lahir orang-orang yang berani berpikir berbeda.

Di pesantren, taat bukan berarti buta. Taat adalah adab yang menuntun akal, bukan mengikatnya. Santri boleh hormat, tetapi tetap berpikir. Di sini sangat bening terklarifikasi: taat kepada ilmu dan taat pada ketaatan!

Feodalisme justru lahir di ruang-ruang modern. Ketika rasa hormat berubah menjadi rasa takut, rasa hormat bertujuan supaya diangkat, memuja-muji supaya dapat jatah.

Dan di ruang-ruang modern itu, rasa takut itu telah menjelma sistem: takut pada atasan, takut pada opini, takut pada hilangnya posisi.

Mari menatap cermin sosial kita. Pegawai takut pada manajer, manajer takut pada direktur, direktur takut pada komisaris, komisaris takut pada pemegang saham, dan pemegang saham takut pada pasar.
Lihat fakta di birokrasi. Staf takut pada atasan, baik tingkat kelurahan, camat, kabupaten, propinsi, departemen dan lembaga, bahkan partai politik sampai istana kepresidenan. Apakah Anda masih menjadi kura-kura di balik perahu bahwa para pimpinan partai sudah selaksa para dewa?

Inilah fakta empirik rantai ketakutan yang menjalar di negeri yang katanya sudah merdeka, bahkan yang katanya demokratis. Prek!

Anda bahkan menikmatinya tanpa sadar. Anda tunduk, hanya untuk diberi sedikit kenyamanan. Anda suka menyembah, asal ada posisi aman. Anda menunduk, supaya dapat proyek.

Mari kita menelisik secara waras, feodalisme faktual berbahaya justru ada di kebiasaan sehari-hari: Dalam cara kita menyusun kalimat agar terdengar menyenangkan. Dalam cara kita memilih diam saat tahu sesuatu keliru. Dalam cara kita menganggap hormat itu sama dengan patuh tanpa berpikir.

Maka, ketika orang berkata pesantren itu feodal, saya hanya tersenyum. Feodalisme di pesantren — jika itu dianggap demikian — masih bisa dijelaskan baik secara keilmuan maupun praktikal: litho’atilLah, la lima’shiyatilLah, untuk taat kepada Allah, bukan untuk bermaksiat kepadanya.

Pesantren memang mengajarkan ketaatan, namun ketaatan pada kemandirian ilmu dalam pelayanan. Di sini, santri otomatis sadar betul: Akan memuja-muji pada siapa yang lebih berilmu, lebih bikal, dan lebih soleh darinya.

Feodalisme di luar pesantren jauh tidak bisa dibenarkan—karena yang dipatuhi bukan lagi kebijaksanaan, melainkan kekuasaan dan keuntungan pribadi mereka semua. Korupsi jam’iyyah (sistemik) terjadi tidak lain adalah karena hal ini: Mending ikut, daripada disingkirkan.

Pesantren masih melatih keberanian berpikir—dalam kesunyian, dalam doa, dalam perdebatan tafsir. Sementara banyak ruang publik justru melatih keberanian diam—demi jabatan, demi proyek, demi reputasi.

Waraslah! Kita tak pernah meninggalkan feodalisme. Kita hanya mengganti keraton dengan kantor, mengganti raja dengan pimpinan, mengganti titah dengan rapat-semu, mengganti upeti dengan laporan-manis plus amplop di balik meja, dan mengganti doa dengan slogan.
Pesantren, dengan segala keterbatasannya, masih berusaha melahirkan manusia yang tahu kapan harus tunduk dan kapan harus menegakkan kepala. Sementara di luar sana, banyak yang menegakkan kepala—tapi hanya untuk melihat siapa yang harus disenangkan hari ini.*

Oleh : Aly Sobirin El-Muannatsy (Pengasuh Pondok Pesantren Nihadlul Qulub, Moga, Pemalang, Jawa Tengah. Aktif menulis refleksi sosial-keagamaan dan esai budaya)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *