Eko-Santrisme

Publika1423 Dilihat

MEDIASI – Seringkali alam memperingati manusia agar selalu bersahabat dengan alam sejatinya, alam serupa dengan manusia yang membutuhkan perhatian sama seperti makhluk lainnya, namun terkadang terabaikan.

Bagaimana tidak, atas nama pembangunan bukit yang hijau menjadi gersang karena diambil kayunya. Tidak hanya kayunya saja bahkan tanahnya pun diambil untuk pengurukan. Belum lagi persawahan diubah menjadi daratan untuk keperluan investasi properti, investasi kapling dan lain sebagainya.

Kerusakan alam, kerusakan lingkungan tidak bisa dipungkiri bahkan dalam al-Qur’an manusia sudah diperingatkan bahwa “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)“.

Namun karena keserakahan segelintir oknum menjadikan semua orang merasakan dampaknya, dari banjir, polusi udara, longsor dan lain-lain.

Lantas bagaimana peran santri dalam menyikapi permasalahan krisis ekologi semacam ini?

Perlu diketahui bahwa ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari
hubungan manusia dengan alam dan lingkungan (yang di dalamnya terdapat tumbuhan, bintang dan lain sebagainya).
Dan pada perkembangannya, kata ekologi dicarikan padanan dalam bahasa Indonesia dengan kata lingkungan.

Emil Salim mendefinisikan ekologi sebagai segala benda, kondisi dan keadaan
dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati dan mempengaruhi kehidupan manusia.

Sedangkan santri menurut KH Said Aqil Siroj, santri adalah umat yang menerima ajaran-ajaran Islam dari para kiai. Gus Mus mendefinisikan santri adalah orang yang memiliki kasih sayang, perbuatan baik pada sesama manusia dan pandai bersyukur.

Dari permasalahan ekologi maka dibutuhkan peran dari santri yang merupakan “kepanjangan tauladan” dari ulama, yang bisa memberikan pengaruh baik moral maupun sosial.

Sehingga muncul istilah “Eko-Santrisme” yang berati orang mempunyai kepedulian, pengaruh dan kasih sayang terhadap ekologi dalam rangka menjaga ekosistem dengan perspektif santri.

Spirit menjaga lingkungan ini sangat sesuai sekali dengan dalil dan nash dari al-Qur’an dan hadits. Semisal pada surat al-a’raf ayat 56 sebagaimana berikut :
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik“.

Kemudian dalam hadist “Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma maka apabila dia mampu menanamnya sebelum terjadinya kiamat maka hendaklah dia menanamnya. (HR. Imam Ahmad)”

Lebih lanjut hasil Muktamar NU ke-29 tahun 1994 di Cipasung, Jawa Barat, telah memutuskan bahwa masalah lingkungan hidup bukan lagi hanya merupakan persoalan politis atau ekonomis saja, melainkan juga menjadi masalah teologis (keagamaan/diniyah). Mengingat dampak kerusakan lingkungan hidup juga memberikan ancaman terhadap kehidupan umat manusia begitupula dengan pelaksanaan ajaran agama.

Dalam pendekatan Maqashid Asy-Syari’ah atau tujuan-tujuan syari’at dalam kitab-kitab ushul fikih yang biasa kita kenal itu ada lima, yakni hifzhu al-din (menjaga agama), hifzhu al-nafs (menjaga jiwa), hifzhu al-‘aqli (menjaga akal), hifzul al-mal (menjaga harta) dan hifzhu al-nasl (menjaga keturunan). Namun KH. Ali Yafie menambahkan perlindungan/pemeliharaan lingkungan hidup (hifzhu al’bi’ah).

Dengan tambahan komponen lingkungan hidup ini, maka enam komponen kehidupan dasar manusia (al-dlaruriyat al-sitt atau al-kulliyat al-sitt) adalah sebagai berikut: perlindungan agama (hifzhu al-din), perlindungan akal (hifzhu al-aqli), perlindungan kekayaan (hifzhu al-mal), perlindungan keturunan (hifzhu al-nasab), perlindungan jiwa (hifzhu al-nafs) dan perlindungan lingkungan hidup (hifzhu al-bi’ah).

Sehingga sudah jelas pijakan dari santri untuk peduli terhadap ekologi.
Namun tidak hanya berkutat dalam teori saja melainkan ada tindakan walaupun kecil bersifat continuous.

Dalam rangka memperingati hari santri nasional, penulis mengajak semua komponen masyarakat wabil khusus santri agar selalu menjaga dan melestarikan ekologi disekitar kita karena kalau tidak kita, lantas siapa lagi.

Oleh : Imroatul Maghfiroh (Pegiat Literasi Batang / Penulis Cerita Anak)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *