Eksistensi Budaya, Rahasia Kerukunan di Desa Linggoasri

Publika960 Dilihat

MEDIASI – Bukan suatu hal yang asing bahwa suatu daerah di Indonesia pasti memiliki keberagaman yang berbeda-beda. Tidak hanya perbedaan tiap karakter individunya, pasti ada juga perbedaan karakteristik antara daerah satu dengan daerah yang lainnya. Hal tersebut akan sangat terasa apabila memasuki daerah pedesaan.

Di desa sangat identik dengan budaya yang lebih melekat daripada daerah di perkotaan. Masyarakat kota yang berkunjung ke daerah pedesaan pasti akan merasakan kultur yang sangat kental, karena masyarakat desa masih sangat menjunjung dan melestarikan budaya nenek moyang mereka.

Masyarakat yang tinggal di desa tergolong orang yang tidak terlalu peduli atau tidak terlalu mudah terkontaminasi dengan adanya budaya-budaya baru yang datang, budaya yang sudah ada di desa sangat melekat dan tetap eksis dengan orang-orang yang tinggal di lingkungan tersebut. Dengan demikian masyarakat pedesaan sangat kental dengan budaya dan ajaran-ajaran leluhur mereka.

Seperti halnya masyarakat di desa Linggoasri, Kabupaten Pekalongan yang melekat dengan toleransi agamanya. Keadaan desa yang sesuai dengan namanya yaitu Linggoasri yang sangat asri suasananya, hal tersebut juga terasa asri dengan toleransinya.

Di desa Linggoasri terdapat empat agama dalam satu dukuh. Masyarakat setempat sangat menjaga tradisi saling menjaga kerukunan antar agama, karena bagi mereka perbedaan agama bukanlah sebuah permasalahan untuk hidup rukun dalam satu dukuh. Dengan penduduk yang terdiri dari empat agama yaitu Islam, Kristen, Buddha dan didominasi oleh agama Hindu.

Menariknya, di Linggoasri setiap rumah yang ditinggali oleh orang Hindu memiliki ciri khas dengan ornamen unik berbentuk seperti gapura kecil yang diletakkan di depan rumah. Namun ternyata bukan hanya sekedar hiasan saja, ornamen tersebut memiliki fungsi sendiri. Ia sebagai tempat meletakkan makanan apabila ada tetangga yang memasak dan ingin berbagi kepada tetangga yang lain, dan diletakkan di tempat tersebut sebagai persembahan dan bentuk terima kasih.

Kebudayaan yang paling menonjol di Desa Linggoasri salah satunya adalah Ogoh-ogoh, yang merupakan karya seni patung sebagai gambaran pribadi butha kala dan dilakukan pada satu malam sebelum Nyepi.

Memang pertunjukkan seni Ogoh-ogoh di Linggoasri tidak semeriah dan seramai yang ada di Bali. Namun pertunjukkan ini yang paling menarik masyarakat desa lain untuk mengingat kebudayaan di desa ini. Pertunjukkan seni Ogoh-ogoh identik dengan masyarakat yang beragama Hindu. Mengingat ada agama selain Hindu yang hidup bersama dalam satu desa, hal inilah yang menjadi nilai kerukunan antar agama.

Strategi adaptasi masyarakat yang bukan Hindu dengan ikut serta menjadi bagian dari pertunjukkan Ogoh-ogoh merupakan kunci terciptanya kerukunan dan keharmonisan yang turun temurun.

Pertunjukkan Ogoh-ogoh ini mampu memberikan dampak peduli dan pelestarian budaya leluhur yang tidak akan luntur sebagai identitas atau ciri khas Desa Linggoasri.

Memang semua agama mempercayai satu Tuhan untuk disembah, namun tata cara melakukan ibadah tiap agama pasti berbeda. Meskipun Desa Linggoasri didominasi masyarakat yang beragama Hindu, dan Ogoh-ogoh sebagai ciri khas seni pertunjukkannya, hal tersebut bukanlah menjadi suatu konflik dalam hidup bermasyarakat, dan dari agama selain Hindu tidak mempermasalahkan hal tersebut malah memberikan kesan positif.

Pertunjukkan Ogoh-ogoh menurut masyarakat non Hindu, dinilai sebagai ajang mengungkapkan emosi dan menyalurkan nilai estetika. Meskipun memang pertunjukkan Ogoh-ogoh ditentukan oleh PERADA (Persatuan Hindu Dharma), tetapi setiap semua warga berkumpul untuk ikut membantu dan berpartisipasi dalam menyusun rangkaian acara serta turut menyumbang. Karena bagi mereka, pertunjukkan seni ini tidak hanya sebagai identitas satu agama saja, melainkan sudah menjadi identitas desa Linggoasri yang harus semua warganya ikut berpartisipasi dalam merayakannya.

Selain itu, momen acara Ogoh-ogoh juga dijadikan kesempatan untuk semua masyarakat berkumpul dan saling gotong royong, serta menjadi ajang Desa Linggoasri di datangi dan di kenal masyarakat luar daerah.

Selain pertunjukkan seni yang menjadi ciri khas di desa tersebut, pernikahan beda agama juga sudah menjadi hal lumrah yang biasa terjadi.

Di dalam satu rumah bisa terdapat tiga agama, hal tersebut terjadi karena pernikahan yang dilakukan, seperti orang yang beragama Islam menikah dengan yang beragama Buddha, kemudian seiring berjalannya waktu, anak-anak mereka dibebaskan untuk memilih kepercayaan dan menghasilkan agama yang berbeda dari orang tuanya.

Keragaman beragama dalam keluarga Linggoasri sudah menjadi kebiasaan di lingkungan tersebut tanpa takut mendapatkan gunjingan dari tetangga atau masyarakat lain. Itu yang menjadi rahasia kerukunan dalam hidup bermasyarakat antar agama dengan adanya eksistensi kebudayaan itu sendiri.

Oleh : Nayla Safana Az Zahra (Mahasiswi UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *