Hustle Culture, Tuntutan Baru Gen Z di Era Disrupsi

Publika519 Dilihat

MEDIASI – Di tengah era disrupsi yang penuh dengan perubahan dan ketidakpastian, generasi muda, khususnya Gen Z, dihadapkan pada tantangan untuk tetap relevan dan produktif. Salah satu fenomena yang berkembang pesat adalah hustle cultur, gaya hidup yang mengedepankan kerja keras tanpa henti demi mengejar kesuksesan. Namun, apakah pola ini benar-benar sesuai dengan kebutuhan zaman atau hanya menambah tekanan pada generasi ini?

Gen Z lahir di era digital yang serba cepat, di mana akses informasi dan teknologi menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Kehadiran media sosial, misalnya, sering kali memperlihatkan kesuksesan individu secara instan, menciptakan tekanan terselubung bagi mereka untuk terus bergerak, bekerja, dan mencapai sesuatu yang besar. Dalam kondisi ini, banyak anak muda yang merasa harus mengambil banyak pekerjaan sekaligus atau terus mengasah keterampilan demi bersaing di pasar kerja yang semakin kompetitif.

Tak bisa disangkal, hustle culture membawa dampak positif bagi sebagian orang. Semangat kerja keras yang dibangun oleh budaya ini memungkinkan Gen Z untuk beradaptasi lebih cepat dengan tuntutan zaman. Banyak di antara mereka yang sukses membangun bisnis berbasis digital, menjadi konten kreator, atau meraih kemandirian finansial di usia muda. Gaya hidup ini juga mendorong lahirnya inovasi-inovasi baru yang mampu menjawab kebutuhan pasar.

Namun, hustle culture juga membawa dampak negatif yang tidak bisa diabaikan. Tekanan untuk terus bekerja tanpa henti sering kali menyebabkan kelelahan fisik dan mental. Fenomena burnout bukan lagi hal yang langka, tetapi sudah menjadi bagian dari kehidupan banyak individu di usia produktif. Alih-alih menjadi lebih sukses, mereka justru merasa kehilangan arah dan motivasi akibat gaya hidup yang terlalu menuntut.

Selain itu, budaya ini cenderung mengaburkan batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dalam usaha untuk terus produktif, banyak anak muda yang melupakan pentingnya menjaga hubungan sosial dan kesehatan mental. Padahal, keseimbangan hidup sangat diperlukan untuk mencapai kebahagiaan jangka panjang.

Apakah hustle culture adalah sebuah kebutuhan mutlak di era disrupsi ini, atau justru jebakan yang menggerus kualitas hidup? Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada kemampuan Gen Z untuk menemukan keseimbangan antara ambisi dan kebahagiaan. Mereka perlu memahami bahwa bekerja keras itu penting, tetapi tidak boleh mengorbankan aspek kehidupan lainnya.

Untuk mencapai keseimbangan tersebut, Gen Z perlu belajar menghargai waktu istirahat dan menetapkan batasan yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Mengembangkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental sama pentingnya dengan mengejar kesuksesan karier. Hal ini dapat dilakukan dengan memprioritaskan waktu untuk beristirahat, menikmati hobi, dan menjalin hubungan yang bermakna dengan orang-orang terdekat.

Era disrupsi memang menuntut fleksibilitas, inovasi, dan kerja keras, tetapi itu tidak berarti hidup harus sepenuhnya dihabiskan untuk mengejar produktivitas. Gen Z, dengan segala potensi yang mereka miliki, dapat menjadi generasi yang tidak hanya sukses secara profesional tetapi juga hidup dengan bahagia dan bermakna.

Hustle culture sebaiknya dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan, bukan sebagai beban yang harus selalu dipikul. Dengan memahami pentingnya keseimbangan, Gen Z dapat mengelola tantangan era disrupsi dengan lebih bijak, tanpa kehilangan makna dari kehidupan itu sendiri.

Oleh : M Arifin Ilham (Mahasiswa UIN KH Abdurrahman Wahid)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *