MEDIASI – Masyarakat Muslim di Indonesia sering mendengar kisah tentang karomah para wali yang makamnya banyak tersebar di nusantara, khususnya pulau jawa dan madura. Di Jawa kita mengenal Sembilan wali atau Walisongo yang masyhur akan berbagai karomah yang dimilikinya. Selain Walisongo, para penyebar syiar Islam atau kiai di Pulau Jawa pun yang mempunyai predikat wali memiliki keistimewaan berupa karomah tersebut.
Di Kabupaten Tegal Jawa Tengah juga banyak tersebar makam wali yang banyak diziarahi umat Islam. Setidaknya ada 40-an makam wali atau kiai yang biasa diziarahi dan dikeramat kan masyarakat Tegal dan sekitarnya. Salah satunya adalah makam Kiai yang dikenal sebagai sahabat dekat Syeikh Said bin Syeikh Armia (Pengasuh Pondok Pesantren Attauhiddiyyah Cikura Bojong dan Giren Talang) yang wafat dan dimakamkan di Giren Talang Tegal.
Di Desa Cikura, selain terdapat makam ulama besar bernama Mbah Kiai Armia bin Kiai Kurdi (Pendiri Pesantren Attauhidiyah Cikura) yang setiap tahun diperingati khaul wafatnya oleh ribuan masyarakat Muslim, juga terdapat makam Mbah Kiai Tarhadi yang merupakan salah satu guru dari Maulana Habib Luthfi bin Yahya saat menuntut ilmu di pesantren yang diasuh Syeikh Said (Ayahanda KH Ahmad dan KH Hasani, Pengasuh Pondok Pesantren Attauhidiyyah Tegal).
Secara silsilah nasab (keturunan) dan sanad (silsilah keilmuan) yang dimiliki mbah Tarhadi memang belum ada referensi yang bisa diceritakan. Karena, saat penulis bersama Habib Nizar bin Ali Al Habsyi sowan ke Habib Luthfi bin Yahya di Pekalongan beberapa tahun yang lalu, Abah Habib Luthfi hanya menjelaskan bahwa Mbah Kiai Tarhadi adalah salah satu ‘Wali Mastur’ atau Wali yang tersembunyi.
Karomah “Melipat Bumi”
Kisah karomah yang dimiliki Mbah Tarhadi tidak hanya diceritakan Habib Luthfi, para sesepuh di Desa Sitail Kecamatan Jatinegara Tegal (desa yang berdampingan dengan Desa Cikura) pun banyak yang menjadi saksi dan mengkisahkan akan ‘keajaiban ilmu‘ yang dimiliki Mbah Tarhadi. Salah satu diantaranya adalah karomah “melipat bumi”, dimana beliau bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata.
Di ceritakan, Mbah Tarhadi semasa hidupnya memiliki seekor kuda tunggangan yang digunakan untuk syiar dakwah. Pada saat itu, kudanya terkadang dipinjamkannya ke Kiai Said untuk perjalanan pulang pergi dari Cikura Bojong ke Giren Talang guna mengasuh dan mengajarkan ilmu di dua pesantren yang dimiliki Kiai Said.
Pada suatu ketika, Kiai Said dan Mbah Tarhadi mengadakan perjalanan bersama dari Cikura ke Giren. Saat itu, Kiai Said menunggang kuda yang dimiliki Mbah Tarhadi, sementara beliau (mbah Tarhadi) memilih berjalan kaki. Namun, ketika Kiai Said dengan kudanya sampai di Giren, ternyata Mbah Tarhadi sudah sampai duluan.
Karomah lainnya, seperti yang pernah didengar penulis, pada saat kudanya disembelih dan dikurbankan untuk dibagikan dagingnya pada masyarakat. Hasil daging 1 ekor kudanya bisa dibagikan rata pada masyarakat di Cikura dan desa sekitarnya. Padahal secara logika, kalau 1 ekor daging kudanya dibagikan pada satu desa saja saat itu tidak cukup, namun ternyata masyarakat di tiga desa bisa kebagian hasil potongan daging kuda yang dikurbankan oleh Mbah Tarhadi.
Mbah Tarhadi dimakamkan tepat dibelakang Mushola yang didirikannya, tepatnya di Dusun Blanten Cikura, Bojong, Kabupaten Tegal.
Wallahu a’lam bis shawab. Lahu Al Fatihah…!
Oleh : A Azis Nurizun (Founder Yayasan Semesta Ilmu Nurul Iman)