Santri Nihadlul Qulub Taklukkan Puncak Surono, Tadabbur Jibal di Atap Jawa Tengah

Publika229 Dilihat

MEDIASI – Enam personel dari Pesantren Tahfidz dan Digital Marketing Nihadlul Qulub berhasil menaklukkan Puncak Surono, puncak tertinggi dari Gunung Slamet, gunung kedua tertinggi di Pulau Jawa. Ekspedisi yang mereka sebut Tadabbur Jibal Slamet ini bukan sekadar perjalanan mendaki, tetapi juga perjalanan spiritual, perenungan, dan dzikir di tengah alam raya.

Perjalanan Panjang Penuh Nafas

Tim memulai pendakian pada Kamis, 7 Agustus 2025, pukul 08.00 WIB dari Basecamp Permadi di Guci, Tegal. Jalur ini dikenal panjang dan menantang. Setelah 6,5 jam mendaki, mereka tiba di Pos 4. “Kami memilih jalur Permadi karena sesuai dengan semangat tadabbur kami: perlahan tapi penuh makna,” ujar Kyai Ali Sobirin, pimpinan tim.

Perjalanan dari Basecamp menuju Pos 4 ini terbagi dalam empat tahapan:

  • Basecamp – Pos 1: Jalur landai yang menjadi pemanasan.
  • Pos 1 – Pos 2: Tanjakan awal yang mulai menguji napas dan fisik.
  • Pos 2 – Pos 3: Jalur landai yang relatif nyaman untuk beristirahat sejenak.
  • Pos 3 – Pos 4: Jalur panjang dan melelahkan, menguji stamina tim.

Menuju Puncak Surono: Ujian Sesungguhnya

Pada Jumat dini hari pukul 03.00 WIB, pendakian menuju puncak dimulai. Jalur ini menjadi ujian sesungguhnya. Menurut Kyai Ali Sobirin, “selangkangan sakit, otot paha dan betis pegal, dan jantung berdegup kencang dan napas tersengal.” Namun, kebersamaan tim menjadi kunci. “Untung ada santri yang setiap kali berhenti langsung memijat. Itu yang bikin saya kuat sampai puncak,” kata Ali Sobirin.

Setelah 6 jam pendakian dari Pos 4, tim akhirnya tiba di Puncak Surono. Di sana, mereka melambaikan tangan menyapa awan, menikmati pemandangan lembah hijau, dan kawah belerang. Sebuah momen sakral yang disempurnakan dengan mengibarkan bendera Merah Putih.

Makna Tadabbur: Dzikir di Atas Awan

Meski sempat berencana mengibarkan bendera bajak laut one-piece, tim akhirnya memilih untuk mengibarkan bendera Merah Putih. Ali Sobirin menjelaskan bahwa keputusan ini adalah bentuk penghormatan kepada para pahlawan kemerdekaan. “Kami kesal pada beberapa kebijakan pemerintah yang ugal-ugalan, tapi hormat kami pada pahlawan membuat kami tetap mengibarkan bendera negara,” tegasnya.

Bagi tim Nihadlul Qulub, Tadabbur Jibal adalah cara untuk membaca ayat-ayat Allah melalui keindahan alam. “Setiap detak jantung, setiap rasa sakit, dan setiap pemandangan adalah pengingat bahwa manusia lemah tanpa Allah,” ujar Andar, santri asal Nabire, Papua Tengah.

Ekspedisi ini merupakan bagian dari misi Pesantren Nihadlul Qulub untuk mendampingi santri agar cerdas di lima aspek: spiritual, intelektual, mental, fisikal, dan finansial. “Mendaki gunung adalah strategi kami mengawal tumbuhnya dua kecerdasan itu,” jelas Ali Sobirin El-Muannatsy, pengasuh pesantren sekaligus penulis buku self-development Teknologi Ruh.
Dengan keberhasilan ini, para santri Nihadlul Qulub telah membuktikan bahwa pembelajaran tidak hanya terbatas di ruang kelas, tetapi juga bisa didapat dari setiap langkah, setiap napas, dan setiap tetes keringat di puncak tertinggi.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *