MEDIASI – Berkembang luasnya Thoriqoh Syatoriyyah di kitaran Pemalang, Purbalingga, dan Tegal tidak bisa dilepaskan dari sosok Muasis (Pendiri) Pondok Pesantren Mislakhul Muta’alimin Karangtengah Warungpring, yakni almaghfurlah Mbah KH Syahmarie.
Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat mu’tabaroh yang pertama kali muncul di India pada abad ke – 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang memopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah Asy-Syattar.
Meskipun Tarekat Syattariyah berasal dari India, namun ia masuk ke Indonesia melalui jalur Makkah. Menurut sejarah, Syekh Abdurrauf As Sinkili yakni ulama asal Aceh ini mempelajari tarekat Syattariyah di Makkah dari Syekh Ahmad al-Qusyasyi asal Palestina dan Ibrahim al Kurani asal Turki. Sesudah Syekh Ahmad Qusyasyi meninggal, Syekh Abdurrauf kembali ke Aceh dan mengembangkan Tarekat Syattariyah di daerah asalnya di Aceh.
John L Esposito dalam Ensiklopedi Dunia Islam Modern menyebutkan, Syekh Abdurrauf belajar kepada Syekh Ahmad al-Qusyasyi selama 19 tahun. Menurut Esposito, Tarekat Syattariyah merupakan tarekat pertama yang berkembang di Pulau Jawa.
Dengan dukungan dari istana, perkembangan tarekat ini berjalan sangat cepat hingga merambah ke luar wilayah Aceh, melalui aktivitas murid-murid Syekh Abdurrauf. Di wilayah Sumatra Barat, ada muridnya yang bernama Syekh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan dan di Jawa Barat, ada Syeikh Abdul Muhyi (Pamijahan, Tasikmalaya) yang kemudian berkembang hingga Cirebon.
Tarekat Syatariyah di Cirebon berkembang pesat melalui Para Bangsawan Keraton dilingkungan keraton. Para bangsawan ini kemudian meninggalkan keraton dan mendirikan pesantren-pesantren di sekitar wilayah Cirebon, hal ini mereka lakukan karena kebencian mereka terhadap penjajah yang pada saat itu telah menguasai seluruh keraton di Cirebon.
Pusat-pusat Tarekat Syatariyah di Cirebon pada saat itu (masa Kolonial abad ke 17-19) yang bermula di Keraton Cirebon kemudian beralih ke pesantren-pesantren yang berada di wilayah Cirebon seperti Pesantren Al-Jauhriyah, Pesantren Kempek, Pesantren Buntet, Pesantren Darul Hikam, dan lain-lain.
Dari Pesantren Buntet ini jalur Sanad Thoriqoh Syattariyah sampai dan berkembang di Jawa Tengah bagian barat, khususnya kitaran Pemalang melalui dakwah KH Syahmarie yang berpusat di pesantren yang dikelolanya.
Riwayat Nasab dan Sanad Keilmuan
KH Syahmarie lahir pada tahun 1915 dari pasangan Kyai Syarif dan Nyai Taswen di Dusun Karangtengah Warungpring. Kiai Syarif sendiri berasal dari Desa Pepedan Moga dan trah silsilahnya diceritakan masih punya garis keturunan Raja Mataram.
Sejak kecil, Kiai Syahmarie sudah memiliki kecintaan kepada ilmu (hubbul ilmi) dan juga anak yang berbakti pada orangtuanya. Hal itu dibuktikan di usianya yang belum baligh (belum sunat) ia sudah menimba ilmu pada Kiai Mukhlas Karangtengah dan suka membantu mencarikan rumput untuk ternak orangtuanya. Kemudian menginjak remaja, Kiai Syahmari oleh ayahnya dipasrahkan ke Mbah Kiai Thoyyib Gombong Warungpring untuk dididik ilmu agama.
Kemudian, Kiai Syahmari melanjutkan pendidikan ke Pesantren Kempek Ciwaringin Cirebon selama 11 tahun dibawah asuhan KH Harun. Setelah itu, ia melanjutkan ke Pesantren Gunungpring Muntilan Magelang dibawah asuhan mbah KH Dalhar selama 3 tahun. Selain itu, ia juga pernah menimba ilmu di Pesantren Tebuireng Jombang asuhan Hadrosyeikh KH Hasyim Asy”ari dan pesantren lainnya hingga tidak kurang 7 pesantren beliau menuntut ilmu dan khidmah meguru.
Sepulang dari Pesantren, beliau menyebarkan dan mengamalkan ilmu yang diperolehnya di Karangtengah. Setelah dinikahkan oleh mbah KH Thoyyib dengan putri dari istrinya yang tinggal di Tegalharja (Nyai Mariyah) yang bernama Siti Khaeriyyah (Ibu Kandung KH Abdul Aziz), Kiai Syahmari pindah dan membuka majelis ilmu di Tegalharja.
Di Dusun Tegalharja ini, Kiai Syahmari membangun Masjid kecil guna menampung jamaah dan santri yang mengaji padanya. Masjid yang dibangunnya saat ini terletak di sebelah utara Masjid besar Tegalharja dan hingga kini masih terawat serta digunakan untuk kegiatan Ta’lim Thoriqoh Syatarriyah.
Hingga pada tahun 1949, terjadi Agresi Militer II dimana Belanda ingin kembali menjajah Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan, berdampak pada kenyamanan dan keamanan sang Kiai dalam syiar dakwahnya. Sehingga ia pun bersama keluarganya kemudian memutuskan boyong pindahan kembali ke dusun Karangtengah.
Dinikahkan Tiga Kali, Mendirikan Pesantren dan Aktif Berorganisasi
Setelah menikah dengan Nyai Khaeriyyah, Kiai Syahmari dinikahkan lagi oleh mertuanya Mbah Kiai Thoyyib dengan keponakannya mbah Kiai Dimyati Kedawung Comal yang bernama Nyai Uripah.
Ketika Nyai Khaeriyyah meninggal dunia, Kiai Syahmari dijodohkan dan dinikahkan kembali oleh Mbah Kiai Thoyyib dengan putrinya dari istri Nyai Muzaenah yang berasal dari Gombong Warungpring yang bernama Nyai Siti Khudriyah (ibu kandung KH Farikhin Sy).
Setelah pindah dari Tegalharja ke Karangtengah pada tahun 1949, Kiai Syahmari bersama santri dan masyarakat mendirikan masjid dan pesantren. Awalnya pesantren yang didirikan bernama Pesantren Karangtengah, kemudian pada tahun 1960 diubah menjadi Pondok APIK (Asrama Pesantren Islam Karangtengah) dan pada tahun 1968 berubah lagi menjadi Pondok Pesantren Mislakhul Muta’alimin (PP MIM).
Selain mengajarkan ilmu di pesantren, Kiai Syahmari pun mempunyai banyak tempat majelis bimbingan thoriqoh di berbagai tempat untuk mengajarkan ilmu aqoid-tauhid pada murid-muridnya. Banyak juga tokoh dan panutan masyarakat lokal yang berbaiat menjadi muridnya; seperti KH Muhammad Thoeri (Pulosari), Mbah Kiai Tafsir (Mejagong), Mbah Kiai Muslim (Sodong Sikasur), Mbah Kiai Wahab (Tegal) dan lainnya.
Kiai Syahmari juga aktif dalam berorganisasi, terutama di organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Jabatan yang pernah diembannya, pada tahun 1953-1973 beliau memangku jabatan Rois Syuriah Partai Nahdlatul Ulama Warungpring. Kemudian, pada tahun 1963-1973 beliau menjadi Rois Syuriah Partai Nahdlatul Ulama MWC Kecamatan Moga (Ketika Warungpring belum mekar menjadi kecamatan).
Karir organisasinya terus meningkat, hingga pada tahun 1973 sampai wafatnya beliau menjadi Musytasar NU Cabang Pemalang. Pada periode tahun 1970 – 1985, Kiai Syahmari juga pernah menjadi Ketua Umum Jam’iyyah Ahli Thoriqoh Al Mu’tabaroh An Nahdliyyah Idaroh Syu’biyyah Pemalang.
Pada tahun 1977 sampai dengan 1984 (sampai Muktamar NU di Situbondo, dimana NU memutuskan Khittah 1926), Kiai Syahmari juga menjabat sebagai Penasehat Anggota DPRD Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kabupaten Pemalang dan masuk jajaran Dewan Pertimbangan Partai.
Teladan Mursyid yang Wira’i
Wira’i berasal dari kata ‘wara‘ yang artinya menjaga diri atau bertakwa. Sehingga wira’i adalah malu berbuat maksiat kepada Allah dan manusia. Selain itu wira’i juga diartikan sebagai suatu sikap menjauhkan diri dengan hal-hal yang haram dan syubhat.
Kiai Syahmari sejak kecil selain hubbul ilmi (cinta ilmu) dan bakti dengan orang tua, ia juga mempunyai sikap wira’i yang kuat. Sehingga walau pun sebagai kiai dan mursyid yang terkenal, beliau untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari ia yang mengatur dan menyediakannya, mulai dari urusan belanja dapur, kebutuhan pakaian, kebutuhan putra putri, atau pun urusan kecil lainnya sudah disiapkan dan direncanakan dengan rapi. Hal itu dilakukannya juga guna menjaga muru’ah (keprawiraannya) sebagai kiai panutan umat.
Kiai Syahmari juga dikenal sebagai sosok yang sangat disiplin dan perpegang teguh kepada hukum syariat, berjiwa besar, tawadu’, sabar, berwibawa dan cinta tanah air. Ia benar-benar berlaku hidup dengan pola kehidupan keagamaan dan etika tasawuf yang begitu mendalam.
Kesabaran dan katabahannya dalam menghadapi berbagai persoalannya pun patut menjadi teladan. Dimana, suatu waktu beliau pernah dicoba ketika keluarganya kena musibah dalam satu minggu sampai 5 orang meninggal dunia, beliau hadapi dengan sabar. Kepeduliannya pada masyarakat kecil pun menjadi perhatian dan dikenang, dimana beliau selalu mementingkan orang yang tidak mampu jika diundang.
Istiqomahnya dalam beribadah dan membimbing umat pun menjadi panutan bagi lelaku para santri-santri yang pernah meguru padanya. Ia juga terkenal adil, baik terhadap keluarga maupun ketika dimintakan fatwa ketika diminta memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Keadilannya dibuktikan dengan lakunya secara pribadinya dalam berkeluarga walau pun ia mempunyai 3 istri dan cukup banyak anak-anaknya.
Namun demikian, beliau juga terkenal tegas dalam melihat kemungkaran. Sebagai salah satu pejuang Kemerdekaan, yang merasakan perih pahitnya perjuangan melawan penjajahan Belanda, ia sangat geram jika melihat santrinya mengenakan pakaian ala Barat (bercelana, melepas tutup kepala (peci kopiah), bermain alat-alat malahi seperti gitar dan lainnya). Karena ia berpegang teguh pada Hadist : “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongannya.”
Dari teladannya sifat kesehariannya tersebut, tidak heran beliau mempunyai banyak karomah, apalagi juga sebagai mursyid salahsatu thoriqoh mu’tabaroh. Banyak kesaksian karomah yang dilihat oleh santri dan murid thoriqohnya serta menjadi bukti kealiman dan keulamaannya. Sehingga tidak heran jika santri-murid Kiai Syahmari pun banyak tersebar menjadi tokoh-tokoh teladan di masyarakatnya, berkat bimbingan dan barokah ilmu serta perilaku akhlak yang diajarkannya.
Kiai Syahmari wafat pada Hari Rabu Manis 28 Jumadil Akhir 1405 H atau pada tanggal 20 Maret 1985 pada pukul 01.00 WIB. Menurut Catatan Buku Saku ‘Biografi KH Syahmari’, cetakan PP Al Falah Mislakhul Muta’alimin (Dibawah asuhan KH Moch Farikhin Syahmari), Kiai Syahmari mendirikan Pesantren di Karangtengah dengan tujuan menjadikan Pondok Pesantren selain sebagai pusat pendidikan pengajaran ilmu tashawuf dan fikih, juga menjadikan pesantren sebagai pusat thoriqoh al mu’tabaroh di Pemalang.
Apa yang diinginkan Kiai Syahmari sudah terwujud, berkat kesungguhannya dalam mengamalkan ilmu tasawuf sekaligus mengajarkannya kepada santri dan masyarakat mengantarkan beliau pada maqom dan derajat yang mulia. Terbukti, hingga saat ini Pondok Pesantren yang didirikannya bertahan kokoh dan berkembang pesat sebagai sentral tarbiyah (pendidikan) dan masih menjadi kiblat thoriqoh Syattariyyah di wilayah Jawa Tengah bagian Barat. Saat ini, di Karangtengah juga banyak berdiri Pesantren-pesantren yang didirikan oleh keturunan dan durriyah kerabatnya. Wallahu’alam bishowab
Untuk almaghfurlah Mbah KH Syahmari… Al Fatihah
Oleh : A Azis Nurizun (Founder Yayasan Semesta Ilmu Nurul Iman)