Menyelami Makna Cinta dari Seorang Penjual Lauk Keliling

Publika1878 Dilihat

MEDIASI – Hikmah pagi ini, nguping obrolan ibu penjual lauk dan pelanggannya. Seorang ibu pelanggan membeli jagung rebusan yang dikasih kelapa parutan (di daerah saya namanya ‘blendhung’. Di tempat mu namanya apa? Sang penjual lauk bertanya, “buat siapa?”. Pelanggannya menjawab, “buat si bapak”.

Lalu ibu penjual lauk curcol, “bener iya, mumpung masih bisa bareng-bareng, walau tak diminta, kasih aja apa-apa yang bisa kita kasih dan lakukan untuk suami. Saya saja sampai sekarang masih kerap lupa kalo suami sudah meninggal lama. Tiap sore saya masih suka menyediakan makan karena sebentar lagi ia pulang. Tiap tengah malam, saya masih terbangun, karena terbiasa dibangunkan jam segitu untuk sholat”.

“Bukannya tak ikhlas suami lebih dulu dipanggil-Nya. Tapi saya merasa belum genap menuntaskan canda tawa”, lanjut curcolnya si ibu penjual lauk. Sambil memilih lauk yang diminati, ibu-ibu pelanggan lauknya manggut-manggut. Termasuk si ibu yang membeli jagung ‘blendhung’ tadi.

Saya membatin, dari segala sisi, cinta selalu tampak indah. Keindahannya ada pada kesederhanaan mencintai. Yaaa… sesederhana itu mencintai. Bahkan, tak perlu alasan kenapa mencintai. Orang boleh bilang, itu hanya letupan listrik pada bagian otak perasa. Tapi kita juga boleh berkata, itu getaran indah sebagai tanda adanya Sang Maha Cinta, Tuhan.

Cinta boleh dirumuskan rumit, meski sejatinya sederhana. Sesimpel cintanya ibu penjual lauk yang menyimpan manis kenangan indah dengan suaminya yang telah tiada. Atau sesederhana si ibu yang membelikan jagung ‘blendhung’, persembahan untuk yang dipuja, suami tercinta.

Juga, sesederhana cintanya sepasang burung pipit yang saya saksikan pagi ini. Ketika rayuannya akan bersambut, sang pujaan melirik saya. Entah malu atau apa, ia terbang. Mudah-mudahan mereka jadian di mana pun hinggap, di dahan pohon cengkeh, atau mungkin di rimbun padi yang mulai menguning.

Cinta sejati akan selalu segar. Meski kulit bergelambir, tulang reot, atau rambut memutih. Kalau ini sih, doa saya. Semoga saya bisa terus merawat cinta agar selalu segar. Karena belum mengalami tua. Kalau sudah tua nanti dan masih terus saling menyinta, baru tuh, terbukti cinta sejati. Saya yakin sahabat mediasi.co juga ingin cinta dengan sang kekasih langgeng, kan? Semoga yaa..

Yang pasti, dari ibu penjual lauk kita bisa belajar, betapa cinta tak berbatas waktu juga tak sesempit ruang. Meski suaminya telah pulang ke haribaan Tuhan yang Maha Kuasa, cinta si ibu itu sungguh abadi. Cinta bukan soal apapun yang bikin rumit, entah harta, kuasa, atau apapun. Cinta adalah soal kesederhanaan. Cinta tak butuh syarat ketentuan yang ribet.

Hebat yaa, ibu penjual lauk itu rasa-rasanya tak pernah belajar puisi. Tapi darinya, saya menangkap romantisme yang indah. Cintanya adalah puisi itu sendiri. Tak perlu kata atau deklamasi cinta ala remaja saat ini. Cinta adalah laku, cinta merupakan ruh dalam bahtera rumah tangga.  Selamat memetik makna cinta.. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *