Purbaya dan Angin Perubahan

Opini85 Dilihat

MEDIASI – Nama Purbaya Yudhi Sadewa akhir-akhir ini terdengar seperti tiupan angin baru di ruang publik. Ia belum lama menjabat Menteri Keuangan, tapi manuvernya sudah menciptakan riak kepercayaan yang jarang kita lihat pada pejabat baru. Ada sesuatu yang berbeda dari cara dia bergerak—cepat, keras, dan, kata sebagian pengamat, “gaya koboi”: menembak masalah tanpa basa-basi, bahkan jika pelurunya bisa mengenai kolega sendiri.

Langkah paling heboh jelas suntikan Rp200 triliun ke bank-bank BUMN. Uang negara yang biasanya parkir di rekening pemerintah dipaksa masuk ke perbankan, agar bisa mengalir ke sektor riil. Pesannya terang: uang jangan tidur. Dan seperti biasa, publik segera menafsirkan: inilah tanda pemerintah benar-benar ingin ekonomi bergerak, bukan sekadar mengatur angka di atas kertas.

Gebrakan Purbaya tidak berhenti di situ. Ada isu krusial yang ditunggu rakyat: pengurangan pajak. Ini di luar praduga, mengingat menteri sebelumnya tiada hari tanpa bicara defisit anggaran, beban negara, lalu pajak naik.

Ia menyentuh lapisan paling bawah, menegaskan bahwa pemerintah tengah menyiapkan langkah pengurangan beban PPh 21 untuk karyawan bergaji rendah. Juga ada rencana merevisi pajak UMKM, agar usaha kecil bisa lebih ringan menghela nafas. Di saat masyarakat sering merasa pajak adalah beban yang tidak imbang dengan pelayanan, kabar ini seperti mengguyur air di tengah alam yang kerontang.

Beberapa kebijakan tersebut membuat Purbaya berbeda: ia tidak hanya bicara tentang angka makro, tapi juga menyentuh hal konkret yang dirasakan rumah tangga.

Namun, setiap angin perubahan selalu ada arus-lawan. Dan, seharusnya memang begitu. Terlalu mulus juga bahaya, karena situasi bisa saja misleading bahkan tidak terkendali.

Sebagian ekonom konservatif menyindir gaya koboi Purbaya terlalu gegabah. Mereka mengingatkan, menaruh Rp200 triliun ke bank tanpa mekanisme kontrol ketat bisa berisiko: uang justru masuk ke kredit konsumtif, bukan produktif. Ada pula yang khawatir kebijakan fiskal longgar, termasuk pengurangan pajak, bisa membuat defisit melebar.

Di sisi lain, kritik juga datang dari kubu oposisi politik. Mereka menuduh langkah ini sekadar pencitraan, bahwa “uang rakyat” dijadikan amunisi politik untuk mengangkat nama pemerintah. Mereka bertanya, bagaimana nasib jangka panjang APBN kalau kue pajak dikurangi tapi belanja sosial terus digenjot?

Tentu kritik itu tidak bisa diabaikan. Sebab publik kita bukan lagi massa yang hanya menerima slogan. Netizen dengan cepat bisa menguliti data, mencari celah, bahkan membandingkan dengan praktik negara lain.

Di atas panggung besar ini, Presiden Prabowo memainkan peran utama. Ia menunjukkan sinyal kuat bahwa dirinya tidak mau lagi dikelilingi pejabat bermental ABS—Asal Bapak Senang. “Laporan manis di kertas tapi pahit di lapangan, cukup sudah,” begitu kira-kira terjemahan sikapnya lewat reshuffle kedua.

Lima menteri diganti sekaligus, termasuk pos-pos strategis. Ini bukan reshuffle basa-basi. Publik menangkap pesan: Prabowo sedang menguji kesetiaan pejabat bukan pada dirinya, melainkan pada rakyat. Ia sadar, membiarkan mental ABS hidup berarti mengorbankan legitimasi pemerintahannya sendiri.

Meski begitu, pekerjaan rumah masih menumpuk. Dua lembaga paling krusial juga belum tersentuh penuh: kepolisian dan partai politik.

Polri, meski sudah mengalami mutasi cukup besar, masih menyimpan banyak persoalan: isu pungli di jalanan, penanganan kasus yang diskriminatif, hingga citra buruk akibat gaya hidup segelintir perwira. Publik kini menanti, bukan sekadar siapa yang jadi Kapolri berikutnya, melainkan apakah Polri bisa benar-benar jadi pengayom rakyat, bukan sekadar alat kuasa, bukan pula pagar makan tanaman seperti yang kita rasakan selama ini.

Sementara ini para tokoh partai politik memang masih tetap sibuk dengan kalkulasi untung-rugi kekuasaan dan transaksional pundi-pundi. Namun, reshuffle memberi warna baru di kabinet, dan memberi sedikit menurunkan tensi rakyat yang sebelumnya bergejolak. Asal tahu saja, rakyat sudah paham: para tokoh partai sudah tidak dipercaya jadi motor perubahan.

Angin perubahan yang berembus lewat Purbaya dan ditegaskan oleh Prabowo sebenarnya selaras dengan arus masyarakat dunia. Beberapa minggu setelah demo di Indonesia yang memakan korban jiwa, kini terjadi di belahan dunia lain. Lihatlah Perancis: protes besar-besaran pecah karena pemerintah tak mendengar jeritan rakyat. Sebelumnya, Nepal juga diguncang tekanan publik untuk menghentikan monopoli elit politik dengan kejadian yang menurut hemat penulis lebih tragis. Itu semua, pesannya universal: ketika elit masih jumawa atau melawan arah zaman, rakyat turun tangan langsung.

Nah, di Indonesia, kita sudah hampir melewati persimpangan itu. Mudah-mudahan lolos. Menkeu Purbaya membawa angin segar, dan Presiden Prabowo menunjukkan ketegasan. Tentu saja dengan sikap kritis kita semua: apakah keduanya konsisten? Apakah kebijakan yang terasa populis, seperti pengurangan pajak dan injeksi dana jumbo, bisa bertahan tanpa jadi bumerang?

Angin perubahan kini sudah berhembus. Siapa yang berusaha menutup telinga atau melawan arusnya, cepat atau lambat akan tersapu. Dan rakyat Indonesia, seperti yang audah diikuti oleh dunia lain, tidak mustahil turun kembali ketika janji tak ditepati, bahkan mungkin dengan menyisiri siapa-siapa yang pantas ditelanjangi.

Oleh : Ali Sobirin el-Muannatsy, dari bawah pohon pisang di kaki Gunung Slamet.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *